12. Tanpa Berpamitan Kamu..

49.7K 6.2K 137
                                    

Tok... Tok... Tok!!

Suara ketukan pintu di luar semakin keras terdengar, Luna menggeliyat pelan sembari beranjak dari tempat tidur, yang baru beberapa jam ini perempuan itu tempati.

Tok....tok....!!!

"Siapa ya jam segini ketuk-ketuk pintu kamar." Lirihnya, perempuan itu menatap jarum jam yang baru menunjukkan pukul tiga.

Berada di penginapan sendirian, tentu membuat Luna takut jika yang mengetuk pintunya kali ini bukan orang baik.

Tok....tok...tok!! Ketukan yang tadinya biasa saja kini berubah semakin keras seperti gedoran.

Luna memberanikan diri berjalan ke arah pintu dan memutar kuncinya.

"Rayhan!" Seru Luna kaget.

"Ngapain di sini? Bukannya semalam udah mau pulang ke rumah?" Tanya perempuan itu, Rayhan dengan pakaian yang sejak semalam dikenakan membuat Luna sadar jika laki-laki itu tidak benar-benar pulang.

"Kamu nggak pulang ya?"

"Itu nggak penting! Sekarang ayo ke rumah sakit." Seru Rayhan dengan suara sedikit terbata.

"Ke rumah sakit? Ada-ada apa jam segini ke sana??" Rayhan tidak menjawab, laki-laki itu justru melepas jaketnya lalu memberikan pada Luna.

"Pakai jaketnya di luar dingin!" Laki-laki itu tampak terburu-buru.

"Ray, ada apa?" Tatapan Luna penuh selidik, Rayhan masih terdiam.

Awalnya, Luna masih tidak berfikir apapun, namun ketika Rayhan menggiringnya cepat ke arah mobil, pikiran Luna langsung fokus pada kondisi Robi.

"Papaku? Papaku kenapa Ray? Ada sesuatu yang terjadi sama papa?" Sikap Rayhan yang terus diam membuat Luna semakin banyak berspekulasi buruk.

Perempuan itu dengan cepat turun dari mobil ketika sampai di parkiran. Tidak ada lagi yang ia pikirkan selain berlari ke ruang di mana Robi terbaring lemah terakhir kali.

"Papa!!!" Tubuh Luna menegang saat seorang dokter dibantu beberapa perawat melepas alat-alat yang semalam masih Luna lihat menempel di tubuh Robi.

"A-apa yang terjadi?? Kenapa alatnya dilepas. Jangan... Tolong, papa saya kenapa??"

"Maaf mbak, pihak rumah sakit sudah berusaha semaksimal mungkin.... Namun, Tuhan berkehendak lain."

Tubuh Luna luruh, beruntung Rayhan dengan sigap memapahnya sebelum jatuh ke lantai yang dingin. Laki-laki itu mendudukkan Luna ke kursi tepat di samping tempat tidur Robi.

Luna menatap kosong pada jasad sang ayah yang masih hangat. Sulit dipercaya, ah... Luna tidak akan pernah percaya ini bisa terjadi di hidupnya.

Pahlawannya, cinta pertamanya, orang yang selalu mendekapnya dalam situasi apapun, sosok ayah sekaligus ibu untuk Luna kecil hingga sebesar ini sekarang, kini terbujur kaku tanpa berpamitan.

Kemarin pagi, Robi dengan senyum bahagia bilang pada Luna jika pria paruh baya itu mendapat undangan dari rekan kerja, untuk menghadiri sebuah acara peresmian Resto baru di kawasan Puncak.

Tidak ada firasat ataupun tanda-tanda yang menunjukkan hal ini akan terjadi. Luna terpukul, Ah bukan hanya terpukul nyawanya seperti ikut ditarik paksa.

"Papaaa...." Dengan jemari yang bergetar hebat, Luna berusaha meraih tangan sang papa dan diciumnya berkali-kali.

"Papa jahat, papa ingkar janji... Papa nggak boleh pergi. Siapa yang akan jagain Luna dari orang-orang jahat."

"Papa.... Luna takut, jangan tinggalin Luna sendirian." Suara itu terdengar pilu.

"Papa kenapa begini, kenapa tiba-tiba! Luna nggak siap pa... Luna nggak bisa kalo papa nggak ada."

Hampir setengah jam perempuan itu menangis di sana tanpa hasil apapun. Tuhan sudah menagih janjinya, kini... Robi benar-benar pulang.

Tubuh kaku itu mulai ditutup kain putih, membuat Luna semakin tidak sanggup menahan kesedihan.

"Papa!!!" Teriaknya semakin frustasi, ketika beberapa perawat dan petugas rumah sakit mulai membawa jasad Robi ke tempat lain untuk selanjutnya diurus.

Pak Sunan, Mbak Tin bahkan Tami langsung menyusul begitu mendengar kabar itu.

Tami dan Mbak Tin memeluk tubuh Luna yang kini terduduk lemah di kursi depan ruang jenazah. Tatapan mata perempuan itu begitu kosong dengan air mata yang terus keluar.

Tidak kuasa melihat temannya sesedih ini, Tami berusaha menenangkan meski dirinya juga tidak bisa menghentikan tangis. Pun dengan mbak Tin.

"Papaku salah apa Tam, kenapa Tuhan panggil papa secepat ini?" Sejak tadi, Luna terus mengatakan hal itu.

"Papa nggak ngomong apa-apa sama aku mbak Tin, dia nggak kasih pesan apapun... Kenapa papa berani pergi gitu aja..?"

"Kalo papa pergi... Gimana aku bisa hidup Tam? Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi mba?"

"Non Luna... Mbak Tin selalu ada di rumah sama non Luna. Mbak Tin nggak akan ke mana-mana kok."

"Aku juga Lun, aku yang akan bantuin kamu.. Aku juga nggak akan ke mana-mana.."

Proses pengurusan jenazah akhirnya selesai pukul enam pagi. Suasana senyap dan dingin membuat rasa kehilangan itu semakin nyata.

Luna berjalan pelan dibantu mbak Tin dan Tami ke dalam mobil Jenazah. Duduk dengan kepala menunduk dan kedua tangan terus menerus memeluk jasad sang ayah yang kini sudah dibalut kain putih di seluruh badan.

Luna tidak mampu berfikir jernih, tubuhnya terus bergetar akibat tangis yang tidak juga reda. Duka yang ia rasakan masih seperti sadar tidak sadar. Luna sangat berharap ini hanya mimpi buruk. Seseorang tolong bangunkan aku untuk mengakhiri mimpi pedih ini..

"Nanti aku mau antar Christ dan keluarganya ke bandara pa."

"Mereka langsung pulang?"

"Iya, ke Indonesia cuma mau misa seribu hari kakeknya."

"Hati-hati di jalan, kemungkinan papa baru pulang besok pagi."

Dada Luna sesak, iya papa pulang pagi ini. Tapi ternyata yang papa maksud bukan pulang ke rumah.

"Papa mau ke mana?"

"Papa diundang ke acara teman, ada rekan kerja papa dulu yang buka Resto baru di kawasan Puncak."

"Papa nyetir sendiri ke sana?"

"Enggak papa aja pak Sunan."

"Oh, kirain nyetir sendiri. Kalo sama pak Sunan aku nggak perlu khawatir papa kecapekan."

"Papa baik-baik saja Luna,"

"Tapi muka papa agak pucat hari ini."

"Mungkin karna masih mengantuk."

"Papa sehat-sehat terus ya! Aku nggak mau terjadi apa-apa sama papa."

"Kamu harus belajar hidup mandiri, papa nggak menjamin selalu ada di samping kamu, loh."

"Ngomong apa sih, papa lupa selama ini yang selalu ada buat Luna cuma papa."

"Suatu saat papa percaya, akan ada orang baik yang selalu berada di sampingmu.. Memberi kebahagiaan yang jauh lebih besar dari yang pernah papa berikan."

"Luna nggak peduli, only papa and always papa! Titik. Udah ya Luna berangkat, takut Christ lama nungguin.."

Dan Luna tidak pernah menyangka, obrolan santai di sela-sela sarapan itu akan menjadi percakapan terakhirnya dengan Robi.

Ya Tuhan, rencana apa yang sedang engkau susun?

Sepaket Luka & Obatnya (Versi benar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang