"Gue betul-betul minta maaf, Lun." Ujar Tami sungguh-sungguh, di sela tangisnya.
"Gue sama sekali nggak tahu, kalau Rangga punya rencana sejahat ini ke lo..." Lanjutnya seraya terisak.
Luna menatap sendu pada sang sahabat, lalu tersenyum kecil.
"Udah dong Tam... Gue baik-baik aja kok, lo nggak perlu sampai nangis gini."
"Tapi gue tetap salah Lun, bahkan gue hampir bikin lo celaka." Timpal Tami benar-benar menyesal.
"Rangga udah diamankan Tam, jangan khawatir lagi. Sekarang mending lo siap-siap, nanti jam dua ada meeting penting, kan."
"Iya juga sih, beneran nggak pa-pa gue tinggal?"
"Nggak pa-pa, tenang aja aman."
"Mbak Tin tadi whatsapp gue, dia masih di perjalanan. Mungkin sebentar lagi sampai."
"Ini jam-jam macet. Bisa sampai satu jam kalau pas kejebak." Sahut Luna sembari menatap jam dinding rumah sakit.
Perempuan itu kembali dilarikan ke rumah sakit, setelah kondisinya drop sejak kejadian malam lalu. Mungkin terlalu syok dan banyak tekanan, Luna berkali-kali pingsan hingga sempat kehabisan cairan.
"Kalo gitu, gue berangkat ke resto ya. Nanti setelah meeting selesai, gue langsung ke sini."
"Jangan ngurusin gue mulu lah, Elang hari ini ulang tahun loh! Ngedate sana!"
"Alah, kita bukan ABG lagi kali Lun. Udah ya, jangan lupa buah yang tadi gue potongin dimakan."
"Iya bawel! Pergi sana, hati-hati."
"Okayy!"
Sesaat setelah Tami menghilang dari pintu, Luna kembali merenung.
Senyum yang tadi ia pancarkan pada sahabatnya itu, kini lenyap tak tersisa.
Bukan hal mudah bagi Luna, untuk terlihat baik-baik saja di hadapan Tami. Perempuan itu susah payah membangun semangat, demi membuat Tami tenang dan tidak terus menerus merasa bersalah.
Namun kala kesendirian itu kembali datang, Luna tetaplah Luna, perempuan yang tidak pernah mampu membohongi perasaannya sendiri.
Lukanya semakin menganga. Bertubi-tubi kesedihan yang ia dapat, tidak mampu Luna hempas dari hati dan pikirannya.
Perempuan itu beranjak dari tempat tidur. Lalu menarik tiang infusnya, ke arah kursi di dekat jendela.
Jujur, Luna merasa trauma pada gedung-gedung rumah sakit dimanapun itu berada. Bagaimana tidak, kenangan buruk di gedung yang dominan dengan warna putih seperti tempatnya sekarang, pernah membawa Luna pada luka kehilangan yang begitu dalam.
Ia kembali menghela nafas, ada banyak hal yang perempuan itu rasakan, namun tidak mampu dijabarkan satu per satu.
Fakta yang Rangga katakan malam lalu, memaksa Luna membuka luka kelam, yang selalu perempuan itu pendam dalam-dalam.
Apa ini alasan orang-orang, yang pada akhirnya membenci Tamara, bahkan hingga ke keluarganya yang tidak tahu apa-apa.
Wanita itu ternyata sangat kompleks. Penuh dengan manipulasi dan ketidakjujuran. Luna memang tidak tahu siapa yang salah dan siapa yang benar, tapi dari masalah-masalah yang Tamara wariskan, Luna rasa sang ibu memang penuh dengan musuh.
Air mata Luna kembali mengalir, perasaan cemas dan takut menghantuinya. Mungkin selama ini, Luna memang sudah biasa hidup dibawah tekanan dan ancaman. Tapi sepeninggal Robi, Luna merasa ancaman-ancaman itu tidak mampu ia hadapi sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepaket Luka & Obatnya (Versi benar)
ChickLit[READY EBOOK 📱] LINK PEMBELIAN EBOOK BISA DM/BUKA DI PROFIL AKU, TEPATNYA DI BERANDA PERCAKAPAN YA☺️ "Ngapain di sini? Jual diri ya." Luna memejamkan matanya, berusaha meredam amarah atas tuduhan dari seseorang yang sejak bertahun-tahun perempuan...