[ END ]
Roséanne Park, di tinggalkan sang mempelai pria disaat tinggal hitungan menit acara janji suci pernikahan segera berlangsung!
Ia pernah mendengar hal itu terjadi pada orang lain. Namun, tak pernah menyangka ia sendiri akan mengalaminya. Wani...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Banyak cara untuk menyenangkan diri sendiri, Jim." Ujar Rosé. "Contohnya dengan liburan, nonton bioskop bersama teman, atau... Dengan cara berkencan dengan kekasih."
Jimin tersenyum miring. "Dulu, aku tidak punya kekasih."
Rosé sedikit menarik sudut bibirnya ke samping seolah ia tidak percaya dengan jawaban Jimin. "Tidak mungkin orang sepertimu tidak punya kekasih."
"Dari umur 18 tahun, aku sudah dituntut oleh ayahku untuk belajar tentang manajemen perusahaan." Jawab Jimin datar. "Ketika remaja lainnya seusiaku waktu itu sedang bersenang-senang dan menikmati masa-masa remajanya, aku sendiri malah di ruangan kerja ayahku hampir setiap saat. Tidak ada yang membantuku dan memperhatikanku, kecuali para pelayan yang berada di sana. Bahkan ayahku sendiri tidak pernah bertanya sekalipun apa yang sebenarnya aku inginkan. Kadang aku merindukan kasih sayang ibuku sendiri dan pembelaan darinya. Tapi aku bisa apa? Yang aku tahu saat itu adalah, aku harus belajar, belajar dan belajar karena beban tanggung jawabku begitu besar menyandang nama keluarga Kim."
Rosé bergeming. Manik cokelat kehitamannya memandang wajah sendu milik Jimin. Ia terenyuh mendengar pengakuan besar dari masa lalu pria itu. Apakah saat ini Jimin sedang melepaskan topengnya? Inikah wajah aslinya yang tampak suram di balik topengnya yang tegas, rumit, dan penuh kewibawaan. Dan... Sebegitu beratkah kehidupan remajanya? Pikir Rosé berkelana.
"Aku juga tidak ada waktu untuk berkenalan ataupun mendekati seorang perempuan seperti teman-temanku yang lainnya." Sahut Jimin menambahkan. "Hingga aku bertemu denganmu dan menikahimu. Bagiku, itu sudah melebihi dari kata kesenangan."
Rosé terkesiap dalam diam, tapi matanya menatap tajam manik hitam Jimin untuk mencari celah kebohongannya. Akan tetapi, beberapa detik berikutnya sayangnya ia tidak menemukan sedikit pun kebohongan pada diri pria itu. Mengapa setiap perkataannya selalu mengobrak-abrik hatinya?
"Ah, sudahlah." Celetuk Jimin. "Ini, makanlah untuk menambah energimu." Ujarnya seraya menaruh piring di depannya dan melepas penutup wadah, memperlihatkan omelet paling empuk serta lembut.
Rosé masih memandangi wajah Jimin saat ia melihat suaminya sedang memotong omeletnya sendiri. Ia memutuskan tidak ingin makan karena perutnya tiba-tiba saja langsung menutup begitu memikirkan masa lalu Jimin.
"Makanlah, Rosé." Perintah Jimin lembut, setelah melihat wanita itu terlalu lama memandanginya.
"Tidak, aku tidak ingin makan!" Tegas Rosé.
"Perlu pesan makanan yang lain? Pesanlah makanan yang kau inginkan. Atau mau aku bantu memesankannya dan-"
"Aku ingin omeletmu."
Jimin mengernyit merasa ada yang salah pada diri istrinya. "Potongan omeletku?"
"Ya."
"Tapi omelet yang ada di sebelah piringmu sama seperti punyaku, Rosé."