23. Terbongkar

41 24 47
                                    

"Kebohongan itu seperti bunga kamboja, terlihat indah tapi setelah menyentuhnya akan terasa pahit"
_

Gianna

•••

Dua bulan berlalu, dan dua bulan itu pun Gia tidak masuk sekolah. Bahkan saat pelaksanaan UAS semester 1, gadis itu memilih untuk mengerjakannya di rumah.

Gara sempat mengunjungi rumah Gia. Namun Elang, papa Gia mengatakan jika Gia tidak pulang ke rumah dan akan terus homescholing sampai gadis itu ingin pergi sekolah sendiri.

Telfon dari ketiga temannya pun tidak pernah Gia angkat, kadang tidak tersambung dan kadang ponsel gadis itu dinyatakan mati.

"Udah dua bulan dia nggak ada kabar, sebenernya ada apa diantara lo sama dia malam itu Tang?!" tanya Silla.

"Gue bilang nggak tau, dia tiba-tiba teriak dan keluar!" ucapnya dengan nada tinggi.

Sejak kejadian malam itu Silla terus menyalahkannya atas apa yang terjadi dengan gadis itu.

"Kalo nggak ada apa-apa, kenapa dia sampai teriak kayak gitu?"

"Gue nggak tau Sil!"

"Lo nggak ngelakuin sesuatu sama dia kan?!"

"Lo berpikiran apa tentang gue?!"

Silla tersenyum remeh mendengar pertanyaan Bintang.

"Bisa jadi kan lo mau ngelakuin sesuatu sama dia karena lo risih sama sikap dia ke lo." Bintang membulatkan matanya tidak percaya dengan ucapan Silla.

"Terserah lo mau berpikiran apa tentang gue, tapi lo harus inget. Gue bukan pengecut seperti apa yang lo pikirin tadi!"

Bintang pergi meninggalkan Silla sendiri di dalam ruang musik. Sungguh pikiran Silla saat ini hanya tertuju ada keadaan Gia.

Apakah gadis itu baik-baik saja? Apa yang terjadi pada Gia malam itu? Dimana dia selama ini?

Silla terduduk lemas di lantai ruang musik, isakannya kembali terdengar. Dia paham seperti apa Gia itu. Jika gadis itu terluka maka dia akan memilih menghilang.

Jadi, apa saat ini Gia sedang terluka? Separah apa lukanya hingga menghilang selama ini? Apakah Gia akan kembali dalam waktu dekat?

Hanya jawaban atas pertanyaan itu yang ingin Silla dengan saat ini. Hanya itu saja Tuhan.

"Gia baik-baik aja."

Suara itu membuat Silla mendongak dan mendapati sosok Diego yang tengah berjongkok di depannya.

Tangan cowok itu beralih menghapus air matanya, sesekali disertai elusan lembut pada pipi gadis itu.

"Jangan nangis nanti Gia marah sama gue, karena gue biarin sahabatnya nangis," ucap Diego penuh dengan kelembutan.

"Di, Gia Di. Gia nggak papa kan?" Diego mengangguk.

"Dia nggak terluka kan?" Lagi, lagi Diego mengangguk.

Tangis Silla pecah saat itu juga. Diego dengan sigap membawa tubuh gadis itu dalam dekapannya.

Sejujurnya dia mencintai gadis dalam pelukannya. Entah sejak kapan, yang pasti Diego akan mendapatkannya dan menjaganya.

•••

Gadis dengan mata yang mulai menghitam itu diam menatap langit-langit kamarnya. Air mata itu lagi-lagi keluar, dan ia benci dirinya yang seperti sekarang ini.

CAHAYA BINTANG : Aku Butuh Kamu! [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang