28. Mengalah

43 25 54
                                    

"Apa kalian tau rasa dimana kita merasa bahagia saat orang yang kita sayangi juga bahagia? Itulah yang saat ini harus aku rasakan"
_

Gianna

•••

Hujan malam yang disempurnakan dengan suara petir menggelegar membuat suasana malam ini cukup menyeramkan.

Seorang gadis tengah duduk di lantai pada bagian pojok kamarnya. Kamar gelap dengan penerangan kilat petir. Kesunyiannya yang dihiasi suara keras petir.

Air mata yang sudah mengering, rambut acak-acakan, tubuh yang lemas, kantung mata yang mulai menghitam, dan tangan penuh luka.

Sudah seminggu Gia mengurung diri di kamar. Bersembunyi dari kejamnya takdir Tuhan, dan kepalsuan isi dunia.

Kamar yang berantakan dan lantai yang dipenuhi dengan bercak merah, seolah-olah menjadi markas pembantaian.

Mata gadis itu tak berkedip dan tetap menatap lurus ke arah foto kedua gadis kecil yang tak lain adalah dirinya dan Ghea.

Suara ketukan pintu selalu ia abaikan tiap harinya. Bunyi perutnya yang terus menjadi alarm juga ia abaikan.

Setelah terdiam cukup lama Gia mulai beranjak ke arah ranjangnya mengambil foto itu dan menatapny intens.

Lagi dan lagi, apakah ia harus mengalah pada Ghea. Sebenarnya ia bisa menelfon Rian, karena cowok itu pasti akan menentang niat Bintang dikarenkan Rian mencintai sang kakak.

Elang tidak pernah tahu jika Rian dan Ghea pernah berpacaran, bahkan sampai saat ini papanya juga tidak pernah tau akan itu.

Ia sudah lelah akan tindakan yang selalu mengalah ini. Tapi ingatan malam itu selalu membebaninya.

Jika Ghea berkorban sebesae itu kenapa ia tidak bisa merelakan seorang lelaki yang bahkan tidak menyuki dirinya.

Setelah melamun cukup lama, Gia meraih handuk dan menuju kamar mandi. Ia akan mengakhiri kegilaannya dan mulai menerima kenyataan jika seluruh cahaya tidak akan pernah abadi kecuali matahari.

Setelah berganti pakaian menggunakan hoodie abu, dan celana jeans pendek. Gia berniat untuk keluar kamar dan menemui seluruh anggota keluarganya.

Saat pintu kamar Gi terbuka, dua orang yang tengah berdiri di luar langsung menoleh. Menatap Gia dengan penampilan yang cukup mengenaskan.

Gara menghampiri sang sepupu memeluk tubuh yang semakin kurus itu dengan kelembutan.

"Sshh," desis Gia saat lengan Gara mengenai luka di tangannya.

Seketika Gara melepas pelukannya dan beralih ada tangan Gia. Gara menyikap lengan hoodie sang sepupu yang langsung memperlihatkan beberapa luka sayatan yang belum kering sempurna.

"Lo gila?! Kenapa lo ngelakuin ini?!" sentak Gara yang sudah dikuasai oleh emosinya.

"Gar, biarin dia makan dulu!" ucap Diego.

Cowok itu pun mengusap wajahnya kasar, kembali menatap Gia dan menggandengan telapak tangan sang sepupu.

"Ayo kita makan, gue udah masakin masakan kesukaan lo."

•••

Setelah acara makan, Gara dan Diego mengajak Gia jalan-jalan keliling kota menggunakan mobil. Bahkan mereka berjanji akan menuruti semua yang Gia inginkan.

"Boleh kita ke makam mama sama Dirka?" ucap Gia membuka suara setelah cukup lama diam.

"Boleh," jawab Gara.

CAHAYA BINTANG : Aku Butuh Kamu! [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang