"Selamat jalan, ratu dan perisaiku. Terimakasih sudah menjadi dua cahaya yang menerangi kegelapan dalam hidupku"
_Gianna
•••
Setelah melakukan balapan yang cukup seru dan menenangkan pikirannya Gia memilih untuk bersantai di tepi pantai saja malam ini.
Saat akan memakai jaket, ponsel milik Gia berbunyi. Menampilkan nama kontak sang papa pada layar ponselnya.
"Halo?"
"Mama kamu kritis, cepat ke rumah sakit sekarang!"
Detik itu juga, Gia menyambar kunci motornya. Saat ini dalam hatinya hanya ada permohonan pada Tuhan, supaya sang mama baik-baik saja.
Cairan bening yang mengumpul di pelupuk matanya tak bisa lagi ia pendam. Setetes demi setetes air mata terus mengalir.
"Jangan tinggalin Gia ma."
Motor milik Gia sudah tiba di parkiran rumah sakit. Dengan langkah cepatnya Gia segera menuju ruangan ICU, seperti apa yang sudah sang papa beritahu di chat.
Terlihat sang kakak, Gavin tengah berdiri dengan nafas memburu dan pikiran yang sangat kacau. Tatapan kosongnya terus mengarah pada pintu ICU. Papanya, Elang terduduk di lantai dengan kepala yang menunduk.
Gavin yang menyadari sang adik tengah berlari ke arahnya, segera merentangkan tangannya. Menyambut tubuh Gia dalam pelukannya, pelukan yang mengartikan untuk tetap tenang.
Tak lama kemudia dokter kepercayaan keluarganya, dokter Andre keluar dari ruang ICU.
"Bagaimana kondisi mama dok?" tanya Gavin dengan cepat.
Elang berdiri dari duduknya dan menatap sahabatnya yang baru saja menangani sang istri.
"Maaf, Mama kalian tidak bisa diselamatkan."
Kalimat itu, berhasil membungkam ketiganya, hingga tangis Gia menjadi suara pertama yang menghentikan keheningan sejenak itu.
Gia terjatuh ke lantai, air matanya mengalir begitu deras. Setelah dokter Andre mengatakan jika sang mama telah tiada, tepat saat itu juga nafasnya tercekat.
Tuhan bolehkah aku meminta untuk Engkau kembalikan mamaku? Aku belum sanggup jika harus ditinggalkan oleh bidadari tak bersayap yang tidak kenal kata lelah mendidikku dan kedua adikku
Gavin menatap sang adik bungsunya, hatinya tersayat saat air mata milik Gia terus mengalir. Hari ini, setelah ia gagal menjadi anak dan kakak yang baik, dia tidak ingin menjadi terburuk lagi.
Gavin membawa tubuh Gia dalam pelukannya, mengecup pucuk kepala sang adik berulang-ulang. Rasa sesak terasa pada rongga dadanya, sungguh sesak hingga sulit untuk bernafas.
Masih dalam kesedihan atas perginya sang mama, ponsel milik Gavin berbunyi. Terpampang nama Gara di layar ponselnya.
"Halo?"
"Bang, lo bisa ke ruangan Dirka?"
"Sorry gue-"
"Dirka butuh Gia!"
Gavin menoleh ke arah Gia yang tengah menatap kosong lurus ke depan.
"Gue kesana sekarang!"
Gavin memutuskan panggilan keduanya, lalu menyimpan ponselnya dalam saku jaket. Maniknya beralih pada Gia, ia berharap kesedihan tidak akan datang kembali dari hidup sang adik.
"Ayo ke Dirka, dia mau ketemu kamu," ucap Gavin.
Perlahn Gia mendongak, mata sembapnya menatap manik Gavin dengan tatapan sendu. Gia takut, gadis itu takut kehilangan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAHAYA BINTANG : Aku Butuh Kamu! [ END ]
Teen FictionMasalah dalam hidup Gianna Gabriella menjadi hambatan untuk dirinya bebas megapai cahaya terang impiannya. "Kamu tau kenapa aku deketin kamu?" ucap Gia menatap sosok cowok tinggi dan tampan yang diam tak berkutik. Alis cowok itu terangkat sebelah me...