3

50.4K 4.7K 78
                                    

" Saya terlalu bodoh, mengharapkan pengertian dari mereka yang bahkan enggan memandang."

" Gue mau balik ke kelas aja, Lang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


" Gue mau balik ke kelas aja, Lang. "

Baru beberapa menit berbaring di atas ranjang kesehatan. Raven sudah sibuk meminta kembali ke dalam lokal, meski guru mata pelajaran yang masuk juga tidak peduli dengan ketidakhadiran dirinya. Elang menatapnya tajam, kedua tangan menahan bahu Raven agar kembali ke ranjang.

Raven menghela napas pasrah, menyadari bahwa sahabat satunya ini tidak suka dibantah. Elang juga marah jika Raven berbicara gaul dengannya. Raven menurut, bersandar di headbord dengan beberapa bantal yang mengganjal. Ia kembali menatap Elang yang sama sekali enggan memutuskan pandangan.

" Kakak, Raven mau belajar. "

" Sakit. " Satu kata dari bilah bibir remaja dingin itu, membuat Raven menekuk wajah. Elang menarik kursi, duduk di samping Raven. Tangannya bergerak mengambil bubur ayam yang diberikan oleh Geo. Ia menyuapi Raven dengan telaten tanpa bersuara. Raven menyukai bubur, jadi tidak sulit untuk dimakan kecuali sayuran .

Raven mengunyah dengan lesu. Fokusnya terbagi, memikirkan kalimat membekas yang ia lontarkan pada Aciel tadi pagi. Pikirannya hanyut dengan berbagai emosi. Apa dirinya terlalu berlebihan, tapi Raven ingin Aciel juga sadar. Perhatian dari sang kakak membuat semuanya runyam. Cap berandalan akan terus menjadi perbandingan, jika mereka terus bersanding akrab.

Raven benci sekaligus menerima fakta mentah dari Erisa. Wanita itu benar, dia hanya beban untuk mereka semua. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari Raven, berbeda dengan Aciel. Raven meremas pergelangan tangannya, menundukkan kepala dalam menahan emosi terpendam.
Ketajaman Elang merasakan gejolak amarah, menuntun tangannya mendongakkan dagu Raven.

Raven tersentak refleks membuang muka, ia tak mau membuat Elang khawatir melihat raut kacaunya. Elang yang lebih dulu mengetahui meletakkan piring bubur di atas meja. Ditangkupnya pipi Raven dengan kedua telapak tangan, agar wajah itu tidak berpaling ke mana-mana. Mata mereka bersitatap lama, sampai titah Elang terlontar.

" Nangis. " Wajah tegas Elang ketika menyuruhnya untuk menangis membuat Raven tertegun. Raven ingin menepis tangannya, namun pandangan remaja campuran itu membuatnya terkesima. Sorot teduh Elang tersingkap di netra indah remaja itu, Raven tersenyum manis.

" Raven gak papa, Kakak~ beneran, Raven gak papa..." Kepalanya menggeleng, berusaha mempertahakan garis lengkung yang begitu pilu dari bibir segarnya. Suara bergetar dari tenggorokan yang semakin terasa tercekat memacu maniknya berkaca-kaca. Tawanya yang mengudara membuat udara di sekitarnya pengap, hati Raven sakit.

" Raven Capek..." gemuruh emosi menghantamnya. Raven dengan cepat memeluk Elang yang langsung membalas dekapannya. Tangisnya pecah, membiarkan dada bidang seorang putra tunggal seperti Elang menjadi sandaran sementara. Elang memejam sejenak, meletakkan dagu di atas pucuk rambut Raven.

" Raven capek Kakak...Raven capek...Raven cuma bisa jadi beban mereka. Raven, Raven takut..."

Elang terus mengelus punggung sempit Raven, membiarkan adik satu-satunya ini menumpahkan air mata. Beberapa menit diperlukan menenangi kalutan emosi, hingga dengkuran halus terdengar samar dari mulut kecil Raven. Bocah itu tertidur nyaman dalam dekapan Elang. Elang tersenyum simpul, membaringkan Raven perlahan. Ibu jarinya menyapu lembut poni Raven yang sedikit basah.

" Good boy. "
.
.

PLAK!

" Masih berani kau menginjakkan kaki di sini. Kau benar-benar aib! "

Baru saja tapak kakinya menyecah di atas lantai mansion, Raven sudah lebih dahulu disambut tamparan keras dari tangan Arav. Lelaki itu mengetahui dirinya yang bolos serta catatan nilai yang menurun drastis. Geo padahal sudah membuat surat izin untuknya, namun salah satu guru yang memegang kepercayaan keluarga Dixon terus mencari kesalahan Raven.

Seorang guru yang berani berlaku tidak adil, sebab menjadi kepercayaan keluarga terpandang. Raven membeku, terkejut dengan tamparan pedas yang dilayangkan. Tangannya bergetar, menyentuh pipi yang menjadi landasan kemarahan Arav. Pupilnya mengecil menatap dinginnya lantai. Gemertak gigi terdengar, rahang menegang menatap nyalang sosok bajingan di hadapan.

" GUE AIB, TERUS LO APA ANJING! LO YANG GAK PERNAH NGASIH GUE KASIH SAYANG! YANG SELALU NGEBANDINGI GUE SAMA ANAK KESAYANGAN LO! YANG GAK PERNAH LO ANGGAP ADA! KARENA GUE TOLOL! IYA! HA!"

PLAK!

" RAVEN! Beraninya kau melawan! " guratan emosi terlihat dari wajah memerah Arav.

" Gue capek! Tau gak! Sekali aja ngehargai gue di sini! Gue tau gue beda dari Kakak! Lo, seharusnya sadar gue juga dari sperma Lo Anj!! Gua ANAK LO! bukan bawahan Lo, BANGSAT! "

BUAGH!

Tinjuan mulus didaratkan tepat di pipi kiri Raven, seketika tubuhnya limbung terduduk di lantai. Seringaian angkuh terpatri, menjilat sudut bibir yang berdarah. Senyum lara terukir jelas, melihat sosok sandarannya dulu tengah berdiri kokoh menyaksikan tenang aksi indah ini.

" Aku hanya memiliki satu putra. Aciel Dixon, Camkan itu! Sekarang, Keluar! Jangan pernah menapaki kaki di sini!"

Arav melenggang pergi meninggalkan Raven yang masih mempertahakan tawa pilunya. Perlakuan Arav tidak sebanding dengan sakitnya sikap Aciel untuknya. Sang Kakak hanya melewati, tanpa berniat menatap lebih lama wajah miris Raven di bawah sana.

" Hahaha~ Sialan! "

' Sekarang, gada alasan Gue tetap bertahan di sini.'

Detik ini Raven sadar, Aciel memberikan kasih sayang di tengah kebencian jauh lebih menyakitkan, pilihan yang tepat yaitu menjauhinya. Dari dulu, ia selalu menahan semua karena Aciel menjadi alasannya tetap bertahan. Namun, jika terus menetap dalam diam hanya akan memperparah luka di masa mendatang. Raven lelah...

" Gue malu lahir di tengah keluarga yang otaknya doang sempurna. Tapi, akhlaknya jauh dibandingi binatang! "

Ia bangkit menuju kamar, menyambar gitar pemberian teman-temannya tanpa membawa harta dari keluarga bajingan.
Tungkai kaki dengan yakin melangkah keluar, meninggalkan mansion besar yang hanya menjadi tempat penyiksaan mental.
Beban dipundaknya terasa ringan, setelah melepaskan keluhan yang selama ini terkubur dalam.

Raven berjalan tanpa melirik ke belakang, memutuskan semua kenangan pahit yang selalu mengikatnya. Langit kian gelap, namun kaki lemas masih terus dipaksa menelusuri jalan tanpa arah tujuan. Raven merutuki dirinya yang tidak sadar meninggalkan ponsel di atas nakas kamar. Benar-benar meninggalkan semua harta, batinnya menyesal.

" Bego! Bego! Bego! " Raven menghentak-hentakkan kaki geram. Mau ke tempat siapa dirinya bernaung sekarang. Hanya bermodal badan berbalut seragam sekolah yang sudah tertumpuk debu jalanan. Meskipun pandai mengendarai motor, Raven itu tidak benar-benar tau arah jalan. Ia hanya mengingat jelas denah ke sekolah, tidak dengan jalur rumah sahabatnya.

Raven meraup wajah gusar, menghela napas meneliti setiap sudut jalanan sepi yang minim pencahayaan. Lampu jalan terlihat berkedip-kedip sekarat, sapuan dingin angin membuatnya sedikit menggigil. Penglihatannya sejenak memburam.

Sedari kepulangan, perutnya hanya diisi oleh bubur saat sarapan. Demamnya masih belum menurun karena menolak obat yang disediakan Sena. Sampai saat dirinya hendak berputar, lamunannya hancur setelah mendengar jeritan nyaring.

AARGHHH!
.
.

___________To be Continued______________

RAVEN [ ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang