25

31.5K 3.3K 27
                                    

" Berharap kau juga tak sama dengan mereka "

" Berharap kau juga tak sama dengan mereka "

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


" Papa... Gak mau, Raven gak mau. " Wajah manisnya sirna akan pucatnya bibir ranum itu. Kepalanya senantiasa menggeleng ribut, menolak keras titah egois lelaki kekar di sampingnya.

" Berani membantahku?--" tawa singkat yang sumbang, terasa menyiksa indra pendengaran. Lamunan anak itu tersentak lebih keras ketika lontaran Faren dilanjutkan.

" Kita lihat, bagian tubuh mana yang akan hilang darimu, setelah keluar dari ruangan ini. " Raven terkesiap. Jika Arthur melarang untuk alasan yang nyata, berbeda dengan Faren yang suka memaksa sesuai kehendaknya. Raven terus berusaha untuk menahan gerak tangannya, agar tidak menyentuh benda berpelatuk itu.

" Raven gak suka, Raven mau belajar yang lain aja. Papa, Raven mohon..." kakinya yang kian berdenyut takut mengambil langkah mundur. Netra madunya yang nanar, masih bertaut dengan datarnya iris mata Faren. Jarak mulai terbentuk, hendak menjauhi sosok jangkung yang semakin gelap rautnya.

" Satu langkah lagi kau bergerak, katakan selamat tinggal untuk kedua kakimu. "

Bruk!

Kalimat yang mengudara ringan barusan berhasil memadamkan sempurna nyali Raven. Kedua kakinya kontan kehilangan tumpuan meskipun Faren mengancam lewat ucapan. Mata Raven melotot. Beruntung telapak tangannya sigap menahan di atas lantai dingin ini. Tubuh kecil itu mematung, Faren membungkuk meraih dagunya. Kentalnya aura intimidasi Faren membuat napas Raven tercekat.

" Kau harus menuruti perkataanku. Aku membayar mahal membeli kelinci nakal sepertimu. Itu kesepakatannya. "

" A-Apa yang Papa katakan, membeli--"

" Raven? R-Raven, dibeli? Apa maksudnya? " jari telunjuknya yang bergetar terangkat, menunjuk dadanya. Secercah amarah di antara rasa herannya terpancing. Matanya yang biasa terang kini redup dengan kebigungan. Dadanya seolah ditikam, tepat saat tenangnya suara Faren terdengar.

" Ini sedikit menyakitkan. Tapi, perlu ku perjelas, jika keluarga yang kau benci itu, ah, maksudku keluarga Dixon telah menjualmu padaku, Ravenku--" surai Raven diusap lembut sampai akhirnya jambakan kuat sukses membuat Raven memekik ngilu.

Grep!

" Argh! Papa! Sakit! "

" Jadi, turuti keinginan pembeli, atau kau akan mati sia-sia nanti, paham? " Pandangan Raven naik, dipaksa agar bisa menatap Faren di atasnya.

" Papa sakit! Rambut Raven sakit, Papa! Maaf, maaf, Raven minta maaf! Papa, maaf! Raven paham! Raven paham, Papa!"
tangisan Raven pecah, anggukan terus-menerus ia berikan secara patuh. Cengkeraman tangan Faren bahkan menggugurkan helai rambutnya. Mata Raven yang buram akan air mata, sayup-sayup menangkap senyum miring lelaki itu.

" That's my boy. " Jarak antara mereka terkikis, dapat Raven rasakan kecupan Faren yang mendarat di dahinya. Jemari panjang Faren melonggar, mengusap pucuk rambut Raven yang kian menutup wajah kacaunya. Anak itu menangis, telinganya berdenging. Pikirannya bising meredamkan kilasan trauma. Raven takut.

" Sayangku, jangan menangis. Kemari, aku punya permen untukmu. " Raven yang hendak mundur ditarik masuk dalam dekapannya. Tubuh yang kecil diayun dalam gendongan hangat Faren yang sumringah. Beberapa permen tangkai rasa buah, lelaki itu selipkan dalam tangan Raven yang mengepal. Pipi Raven yang basah, diusap pelan.

" Pegang yang kuat, atau kau ingin aku membuangnya? " isakan Raven mereda. Tangannya dengan sigap menerima permen beragam warna dari sang papa. Wajahnya yang hendak dicium, Raven jauhkan dari Faren yang tersenyum. Anak itu memilih bersembunyi di ceruk leher Faren yang membawa keluar meninggalkan ruangan.

" Berbahagialah, kelas menembakmu ditunda untuk hari ini. "

Langkah jenjang itu berhenti, tepat di gazebo putih. Hamparan bunga yang luas di depan sana menarik atensi. Duduk di sebuah bangku memangku Raven yang bungkam. Kelinci kecil itu semakin erat memeluknya tanpa niat bersuara. Punggung sempit Raven dielus dengan sayang. Anak poni coklatnya yang halus disingkap ke sela daun telinga. Faren meliriknya.

" Apa aku begitu seram? "

Melerai perlahan tubuh Raven. Terlihat kelopak mata yang sedikit bengkak dengan pangkal hidung yang memerah. Raven menunduk dalam. Bibirnya berkedut menahan sesenggukan. Jari-jarinya bermain dengan permen dari Faren. Dengan sengaja Faren rampas satu permen anggurnya. Raven terkejut, langsung mendongak mengikuti arah permennya.

" Ah! " tangan Raven yang terangkat mengambil permennya, menggantung di udara. Raven tak mau menatap Faren untuk sementara. Namun, permen miliknya ada pada lelaki itu. Tangan Raven turun. Mata mereka bertemu.

" Aku suka rasa anggur. Apa kau akan membaginya denganku? " sudut bibir Faren naik menampilkan seringaian. Berbeda dengan raut Raven yang tampak kecewa. Kedua manik cokelat itu berkaca-kaca. Tapi, tindakan Raven setelahnya justru membut Faren menaikkan satu alisnya.

" Iya... "

Suara parau anak manis di pangkuannya terdengar gelisah. Anggukan lesu Raven mengizinkan papa untuk mengambil permennya. Faren merasa tergelitik saat melihat Raven yang langsung memandang sisa permen tangkainya. Tawa kecil Faren memecah lamunan Raven. Lelaki itu sadar bocah ini tidak rela berbagi. Raven mendelik, setelah Faren memasukkan gula tangkai rasa aggur itu ke dalam mulutnya.

" Aku lebih suka jika kau yang merasakannya. Bagaimana, enak? " Raven mendongak, menatap Faren yang melukiskan senyum samar. Raven mengangguk, lalu fokus melihat bungkus permennya. Tatapan Faren tak lepas dari kelinci manis itu. kemudian menyeletuk.

" Permennya kurang? " Raven menggeleng. Anak itu dengan cepat memberikan satu buah permen miliknya pada Faren.

" Raven suka rasa stroberi. "

" Kau memberinya padaku? Bukankah kau bilang kau menyukainya? " hidung Raven ditoel.

" Raven lebih suka Papa yang rasa. " balasan Raven yang lihai meniru ucapan sebelumnya membuat Faren tertawa. Pipi tumpah itu merona, Raven malu. Pandangannya beralih asal menghindari mata hangat Faren.

" Kalau begitu, apa aku bisa meminta satu la-- "

" Gak! Gak boleh, permen Raven sisa dua!" sahutan tajam Raven memangkas ujaran Faren. Dengan cepat anak itu menyembunyikan permennya di belakang tubuhn. Lirikan sinisnya pada Faren berhasil membuat Faren puas.

" Cukup pelit. Kau lebih cocok menjadi majikan dari pada Ak--" Sial. Faren tak sengaja mengungkit kembali kejadian tadi. Raven yang paham arah pembicaraan kian melerai permen dalam mulutnya. Hatinya masih berdenyut perih.

" Raven jahat, ya? Makanya Raven dijual. "

" Tidak ada yang mengatakan bayiku jahat, dia hanya sedikit nakal. Lagi pula, bukankah itu hal yang menguntungkan? Kau membenci mereka. Jika kau bisa lepas dari keluarga Dixon. Sayangku ini bisa bebas dengan hidupnya.  "

"Kalo gitu, Raven boleh jual mereka? "

" Tentu, tapi kusarankan lebih baik tidak. "

" Kenapa? "

" Ya. Mereka tidak akan laku dijual, tanpa diberi harga sekali pun. Tidak akan ada yang tertarik, percayalah. "

" Kenapa begitu, Papa? " Arah tatap Faren jatuh pada pipi bulat Raven. Hingga akhirnya tengkuknya turun agar dapat menciumnya.

" Karena mereka tidak semanis bayiku. " Letupan geli Raven menguarkan tawa renyah ke udara. Kecupan demi kecupan di wajahnya, Faren berikan seraya melepaskan ujaran manisnya. Ekor mata Raven menjatuhkan setetes cairan bahagia efek dari gelitikan Faren di pinggangnya. Di bawah sinar mentari, hubungan baru mulai terjalin di antara keduanya.

Layaknya Arthur yang kian mendapatkan hal pertama dalam hidupnya. Begitu juga dengan Farenzo, yang merasakan kebahagian murni dari sosok kecil dalam pelukannya. Seorang bocah nakal yang masih memikirkan Faren, biarpun mengetahui sisi gilanya. Seorang kelinci manis yang mencari titik nyaman dalam diri Farenzo. Raven, adalah satu alasan untuk dua pihak yang berbeda.

" Lupakan mereka, kau milikku, hanya aku."
.
.
__________________SELESAI________________

RAVEN [ ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang