" Kelinci manis ditengah hewan buas bukankah sangat miris? "Ting~ Time to break.
Suara sistem terdengar jelas ke seluruh penjuru ruangan. Mengatakan bahwa waktu istirahat para siswa juga pengajar di sana telah tiba. Namun anehnya teman sekelas Raven sama sekali tak beranjak dari kursi mereka. Raven mencerna situasi, apa mungkin ada kelas tambahan lagi? batinnya menyahut tiba-tiba.
" Tapi, Raven lapar... " lirihnya mengusap perut bayi yang kian bergemuruh. Raven mengangguk menyakinkan dirinya bahwa memang benar saat ini adalah waktunya makan. Persetan jika memang dilarang, yang terpenting perut ini bisa terisi. Meletakkan tas di atas meja mengeluarkan beberapa camilan yang dibawa. Mengabaikan kotak bekal yang sengaja dibuat oleh pelayan atas perintah Arthur.
Netra madu berbinar dengan senyum merekah. Menusuk sedotan kontan meminum susu secara perlahan. Biskuit gandum juga berhasil masuk ke dalam mulut kecilnya. Pipi tembam semakin mengembang lucu terpacu kunyahan. Pandangan mengedar melihat sekitar, Raven melotot tatkala matanya bertabrakan dengan sosok datar seisi ruangan.
' Kenapa diliatin ? '
Raven yang tadinya percaya diri seketika ciut sekarang. Tak menyadari para remaja lelaki di kelas ini memperhatikan gerak-geriknya sedari tadi. Mulut penuh kudapan ditelan kasar olehnya. Sial sekali semua murid di sini bergender pria, Raven kan jadi lebih tertekan dibuatnya. Raven membuang muka berusaha tenang menyedot minumannya.
Jemari kecil Raven bergerak meraih satu biskuit gandum kesukaanya. Menoleh kaku menatap para hewan buas di sana. Tangannya mengudara menawarkan sedikit kudapan miliknya.
" Hmmm~ Kalian mau ? Ini, ambil. " Raven masih menyesup susu kotaknya. Getaran di tangannya terlihat selaras dengan degup kencang jantungnya. Tak ada balasan selain tatapan datar. Raven menggigit bibir, maniknya berkaca-kaca. Takut kesan pertama Raven di sekolah buruk dan mempermalukan sang ayah.
Apalagi di sini hampir seluruhnya pewaris mafia. Salah cakap sedikit nyawa taruhannya. Raven kembali menarik uluran tangannya menyimpan biskuit dalam kemasan semula. Melerai sedotan dari mulut hendak bertanya dengan pandangan yang masih bertaut.
" Raven... salah? " suara bergetar memecah hening namun tetap tak kunjung dapat balasan.
" Maaf..." lirihnya memutuskan kontak mata, mulai menyusun semua camilannya ke dalam tas sekolah. Raven menidurkan kepalanya di atas meja, memandang langit dari luar jendela. Pendingin ruangan mendukung suasana, apalagi tatapan makhluk di sampingnya. Mata memberat tak kuasa menahan kantuk, hingga dengkuran halus dengan pejaman mata menghantarnya pada lelap singkatnya.
Setengah jam sampai bibir ranumnya melepaskan lenguhan. Bergeliat mencari posisi yang lebih nyaman dalam pelukan. Raven benar-benar menikmati usapan di punggung ini. Sebentar, usapan? Siapa? Matanya terbuka sempurna menyadari punggungnya disentuh oleh seseorang. Betapa kagetnya Raven tengah berada di atas pangkuan sosok tinggi tak dikenal.
" Argh! " pekiknya berusaha menjauh namun tubuhnya semakin didekap erat.
" Diam! " Raven kaku tatkala suara dingin remaja menusuk indra pendengaran. Bayi besar itu menurut menenggelamkan wajahnya di dada remaja itu.
" Siapa ? " melirik sejenak dengan cicitan halusnya.
" Alen Zeus. " Raven terkesima melihat wajah Alen. Ia baru sadar jika temannya ini adalah remaja berkacamata yang duduk tepat di belakangnya. Sejak perkenalan diri, Alen sama sekali tak mengangkat wajah dari tabletnya. Alen begitu tampan tanpa kacamata. Rahang tegas dengan hidung mancung serta kulit putih porselen. Alen bak idol Korea yang tengah naik daun.
" Raven takut, " bocah itu masih disambut tatapan dingin disekitarnya. Seolah paham akan maksud Raven, lirikan Alen berhasil mengalihkan perhatian mereka yang sedari tadi memandang Raven. Mereka kontan memutar arah pandang seolah menerima titah Alen agar tak melihat kelinci manis di atas pangkuannya. Raven mendelik, Alen sepertinya ketua di sini.
" Raven mau ke tempat kakak, " Alen menuruninya lalu menggandeng tangan Raven keluar ruangan. Remaja bermanik coklat terang ini selalu cepat tanggap akan keinginan Raven. Benar saja, sekarang Raven berada tepat di depan kelas Kakak pertamanya ' LS III ' . Ia melihat Kai masih fokus mendengarkan ajaran guru mereka.
" Masuk, " titah Alen tanpa ekspresi setelah melepaskan genggaman tangan mereka.
" Gak masalah Raven masuk masih ada gurunya? " tanyanya canggung dibalas anggukan. Raven mulai melangkah masuk dari pintu belakang, di mana para siswa membelakanginya. Berlari kecil ke tempat duduk Kai langsung memeluk putra pertama Arthur tanpa aba - aba.
" Kakak... " Kai tersentak melihat si kecil ada dalam kelasnya. Semua atensi beralih menatap Raven, bahkan guru juga berhenti menerangkan materi.
" Mau pulang, Raven mau pulang... " isaknya semakin memeluk Kai dengan erat. Kai bangkit menggendong Raven ala koala. Memutuskan keluar membawa perlengkapannya setelah meminta izin pada sang guru. Semua orang di sana memekik tertahan tanpa menampilkan mimik wajah.
" Ada apa? " Kai mengelus punggung Raven berjalan ke arah kelas adiknya.
" Raven gak suka di sini, mereka terus liatin Raven... " anak itu masih menangis menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Kaizel. Saat mereka menyecah ke dalam kelas Raven. Bayi Arthur ini masih takut menatap teman sekelasnya. Kai mengambil tas Raven yang diserahkan langsung oleh Alen. Ternyata remaja itu sudah kembali sedari tadi. Kai hanya sekali mengangguk tanda berterimakasih.
Mendengar tangisan kelinci yang tadi memakan camilan dengan senyum semringah. Secercah rasa kecewa di hati mereka. Mereka tak pandai dalam menyampaikan ekspresi. Jadi, ketika Raven mucul di tengah-tengah mereka dengan suasana baru mereka langsung terpikat. Ingin berlomba-lomba menjadikan Raven teman maupun adik.
Sosok manis yang harus dirantai dalam sangkar agar tak ada yang melihatnya. Seperti pemikiran Alen sekarang, psikopat emang. Kai yang sudah berada jauh dari kelas. Kini duduk di bangku taman belakang sekolah. Raven masih terisak tak ingin berhenti.
" Berhenti menangis, " ujar Kai menangkup pipi Raven yang sudah terlihat kacau dengan air mata. Bahkan seragam Kai ikut tertinggal akan noda ingusnya.
" Raven gak mau sekolah di sini, gak mau. " Segitu takutnya Raven hingga menangis tanpa henti. Kai mengecup lembut dahi si bungsu. Menuntun kepala Raven agar bersandar di pundaknya. Telapak tangan besar itu mengusap surainya, berusaha menenangkan Raven dengan menyetujui apa kemauan adiknya.
" Hmn.. Sekarang tidurlah, kau pasti lelah. "
__________________SELESAI________________
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVEN [ ✔ ]
Teen Fiction[ BELUM TAHAP REVISI ] • Kisah dirinya yang tidak diharapkan oleh keluarga kandung... " Jika aku tau kau akan besar menjadi berandalan bodoh tak berguna, seharusnya aku menggugurkanmu. " ' Gue tau... gue beban. Berusaha semaksimal mungkin juga baka...