5

55.3K 5.3K 177
                                    

" Yang baik belum tentu bisa menerima."

Raven yang banyak bicara kali ini diam merenung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Raven yang banyak bicara kali ini diam merenung. Seharusnya dirinya hanya tinggal menjawab dua kata, benar atau salah. Namun sekarang, Raven malah mengulang kata belakang dari pertanyaan yang sama sekali tak pernah ia duga akan datang padanya. 

" Mem...bosankan..." lirihnya tepat saat lamunan datang bersamaan. Bibirnya bergerak tanpa keinginan. Bocah itu tertegun saat Arthur menyingkap anak rambutnya.

" Ya. Jika aku menginginkan anak yang selalu patuh, aku hanya tinggal membeli robot manusia. Keduanya hampir terlihat sama, bukan? " Raven kembali mencerna kata-kata dari si dominan ini. Anak yang selalu patuh belum tentu merasa bahagia, emosi mereka yang sebenarnya jarang terlihat. Hanya senyum kebohongan layaknya sistem yang memaksa.

Selalu patuh itu tidak mudah, seorang anak yang dipaksa untuk sempurna sama halnya dengan robot buatan. Raven seketika mengingat bagaimana ekspresi Aciel saat berhadapan dengan orang tua mereka, kakaknya itu memiliki senyum yang berbeda. Raven baru menyadari itu semua. Pikiran ngawur Raven timbul secara tiba-tiba.

' Berarti kakak robot dong. ' batin Raven dengan ekspresi serius. Kapasitas otaknya terbilang elastis, terkadang luas terkadang juga sempit. Cukup berani menyatakan Aciel robot tanpa embel-embel 'seperti' di tengah pernyataannya.

" Kalau modelan Gue yang begini gimana dong, Om? Sampah? " tanyanya penasaran. Arthur mendongakkan dagunya dengan beberapa jari, meneliti setiap inci wajah mungil si manik madu.

" Cocok menjadi kandidat anakku, " celetuk Arthur melemparkan seringaiannya. Raven yang merasa kesal dengan ujaran yang sama dari Arthur, langsung menepis kasar tangan pria itu.

" Gue bukan anak, Lo! "

" Begitu," garis bibir yang datar terpampang di wajah Arthur setelah melihat reaksi Raven. Aura dingin menguar membuat Raven mendelik takut.
Raven membuang muka, tak sanggup melirik netra intimidasi yang menusuk. Namun, Ia sadar bahwa dirinya terus mendapatkan perlakuan hangat dari Arthur.

' Apa emang mau mungut, Gue? Mau pergi juga, ntar gak tau harus kemana. Kalau ni orang serius, mending terima aja? Boleh juga! Eh tunggu, Gue jadi anak mafia dong? Gak, gak! Tapi 'kan keren juga! '

Raven menggigit kuku meredam ragu. Kepalanya hanya sibuk mengangguk, lalu menggeleng. Alisnya bertaut nyatu, betapa keras usahanya untuk mempertimbangkan hidup seorang bocah pembuat onar sepertinya. Arthur menatap datar, apa lagi yang dipikirkan si tengil itu.

" Om, punya istri? " tanyanya disela-sela keheningan. Arthur menggeleng.

" Punya anak kandung? " Raven memberikan fokus sempurna, dibalas anggukan oleh Arthur.

" Berapa orang? " sang dominan mengangkat dua jari, Raven mengganguk paham dengan mimik sedikit kecewa.

" Lebih tua dari Gue, Om? " Arthur lagi-lagi hanya mengangguk tanpa suara. Menjawab pertanyaan cepat Raven dengan gerak tubuh sebagai bahasa.

RAVEN [ ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang