" Bolehkah Ia katakan, dirinya kini menikmati hidup menjadi kelinci manis "
.
.Waktu menunjukkan pukul 06.30 pagi. Raven yang sudah rapi dengan seragam baru serta tas yang dibopong satu tangan, terlihat keren di mata kaum hawa. Ia berlari kecil ke arah dapur. Matanya terus berbinar menatap tempat harta karun manisnya. Meletakkan ransel di atas meja, melompat-lompat meraih lemari gantung di sana.
Hup! Hup!
" Ha...perasaan kemarin gak setinggi ini! "
desisnya menghentakkan kaki sembari mengusak rambutnya." Apa yang sedang Anda lakukan? tegur Feri menghampiri tuan mudanya. Tangan kanan Arthur itu heran, melihat bungsu mafia tengah melompat-lompat dengan tubuh pendeknya.
" Om, bantuin ambil sesuatu di situ. " tunjuknya, membuat pria kekar di sampingnya mengikuti arahan jari.
" Om gendong Raven aja, biar Raven yang ambil. Buruan, Om! " titahnya tegas membuat Feri mengangguk. Pria itu sedikit menggulung lengan kemejanya. Kemudian, menggendong tubuh Raven seperti Arthur biasanya. Bocah itu terdiam sejenak, ketika gagang lemari tak mau terbuka. Padahal, Raven tidak melihat ada lubang kunci di sana.
' U are not allowed to open this. '
( Kamu tidak diizinkan untuk membuka ini)Netranya mendelik setelah mendengar sistem yang tiba-tiba bersuara.
" Woah~ Ini beneran bisa ngomong, Om? Lemarinya sejak kapan glow up?" Raven terus menarik-narik gagang lemari tersebut meski tidak ada respon selain penolakan dari sistem. Seingatnya, saat Arthur membuka lemari yang sama tidak ada suara khusus seperti peringatan barusan.
" Lemari ini didesain khusus dari Lerion Company milik tuan Arthur. Hanya pemilik serta orang tertentu lewat sidik jari pada gagangnya yang bisa membuka benda itu, Tuan. " Feri menjelaskan sambil menatap raut Raven yang kecewa.
" Terus... Raven gak bisa buka itu? Raven mau ambil barang penting, Om bantuin Raven~" kepalanya tertunduk sedih, jarinya saling bertaut lalu kembali menjalin kontak mata dengan Feri. Pria dewasa itu ingin berteriak dalam hati betapa menggemaskannya puppy eyes tuang mudanya. Luluh, Feri dengan terpaksa membukanya dengan kartu--Owner of this mansion milik si kepala keluarga.
Feri mempunyai salinannya sebagai kepercayaan Arthur. Mengingat furniture di mansion de Lerion hampir semuanya canggih. Lemari itu terbuka, memacu tangan Raven bergerak cepat mengambil beberapa susu, biskuit, juga permen buah. Ia turun dari gendongan Feri. Memasukkan semua harta karunnya dalam tas hitam maron yang kini di tentengnya.
" Anda tidak boleh memakannya berlebihan, " cekal Feri membuat Raven kesal.
" Raven makan bareng teman di sekolah nanti. " Bocah itu menutup resleting tas, menyakini Feri dengan mimik serius.
" Saya sudah mengingatkan Anda. Jika tuan Arthur menyadari Anda berbohong , saya tidak akan membantu Anda. " peringat Feri membuat Raven tertegun sebentar. Ia memilih menepis pikiran buruk akan keputusan yang diambilnya, melangkah ke meja makan berusaha untuk tetap tenang.
.
.
Setelah sarapan, mereka berjalan menuju mobil. Para pelayan serta anak buah Arthur berjejer rapi, mengantar kepergian para tuannya untuk melakukan aktivitas di luar sana. Raven menarik ujung jas sang ayah." Raven mau diantar Ayah~ " cicitnya manja.
" Aku akan menjemputmu nanti, untuk sekarang berangkat bersama kakakmu. "
Arthur merapikan seragam Raven juga surainya yang sedikit acak." Ottee~ " serunya seraya tersenyum lebar menampilkan dua buah gigi kelinci kecil.
Cup!
" Bye - bye Ayah~" Raven menggandeng kedua tangan kakaknya masuk ke dalam mobil. Arthur melambaikan tangan, tersenyum simpul sampai mobil mereka jauh dari penglihatan.
" Tempat biasa." titahnya datar dengan wajah dingin andalan. Semua orang membeku melihat ekspresi si tuan besar yang begitu cepat berubah, layaknya membalikkan telapak tangan. Semua anak buah menyeru hormat menerima titahnya.
Perjalanan ketiga putra keluarga De Lerion, hanya diisi oleh celoteh lucu dari si bungsu. Bagaimana Ia menyampaikan mimpi anehnya semalam pada kedua titan berbisanya. Hingga mereka sampai di Lerion School , gedung sekolah menengah atas yang dijaga ketat serta dihuni oleh siswa siswi khusus.
Mereka anak para pembisnis kaya juga rata-rata anak para mafia. Setiap kelas diisi maksimum 17 - 20 orang. Raven sudah mengetahui hal ini sebelumnya. Kai memarkirkan mobilnya rapi. Mereka keluar menggandeng kedua tangan Raven dimasing-masing sisi. Bocah itu hanya diam mengikuti langkah sang Kakak.
Matanya tak bisa berpaling dari bangunan sekolah yang begitu mewah juga unik. Tidak seperti sekolah pada umumnya. Kai dan Kei mengantar sang Adik kedepan kelasnya. Sedari tadi semua mata menatap lekat mereka. Lebih tepatnya Raven , sekolah ini lebih banyak kaum pria. Wanita di sini juga tidak centil seperti kebanyakan sekolah di luar sana.
Raven memegang erat tangan kedua pawangnya. Ia takut, entah mengapa hampir semua ekspresi mereka sama. Datar, bak patung rumah. Ketika sampai di kelas Raven bertajuk 'LS . I' . Raven kontan memeluk Kai, menduselkan wajah takut di dada bidang putra sulung.
" Raven takut."
" Apa yang kau takutkan? " Kai mengelus surai Raven.
" Mereka seram... " lirihnya menatap Kai dengan sudut bibir yang menurun. Para siswa yang melihatnya menelan saliva kasar. Bagaimana bisa ada kelinci ditengah-tengah keluarga de Lerion. Mereka seakan haus akan rasa penasaran dengan sosok imut itu.
" Kau tidak perlu mengenal mereka, duduk dan belajar sampai kami menjemputmu."
Kei mengelus pipi Raven dengan lembut, membuat si kecil merasa sedikit tenang." Masuklah. " seru Kai.
Raven mengangguk melayangkan kecupan singkat di pipi kedua Kakaknya. Kai dan Kei sudah terbiasa dengan itu. Namun, tidak dengan semua orang di sana. Mereka membelalak tak percaya, hanya Raven satu-satunya siswa manja seantero sekolah. Seringaian seram terpatri di wajah mereka, kelinci kecil akan menjadi mangsa para hewan buas haus darah.
.
." Halo...nama Gu-- Eh! Saya Raven De Lerion, salam kenal." Hampir saja Ia melupakan titah sang Kakak bahwa bahasa gaul dilarang disini. Keheningan memeluk kelas tersebut.
"Baiklah Raven, kamu bisa duduk di sana. "wanita itu tersenyum manis menunjuk kearah bangku kedua didekat jendela. Raven bernafas lega, guru disini tak jauh berbeda dengan sekolah lainnya.
" Terimakasih. " balas Raven dengan senyum khasnya.
' Akhirnya setelah sekian lama ada juga murid waras, ' batin sang guru memekik gemas, belum tau aja tingkah Raven gimana kelewat warasnya. Pelajaran dimulai seperti biasa. Bedanya tidak ada buku maupun pulpen sebagai alat tulis. Hanya ada tablet yang dirancang khusus untuk para siswa.
Raven sudah tau dari awal , makanya tas bocah tengil itu hanya berisi satu tablet lengkap dengan pen-nya. Lalu, cemilan yang diambilnya tadi.
" Lapar.... "
.
.
__________________SELESAI________________
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVEN [ ✔ ]
Teen Fiction[ BELUM TAHAP REVISI ] • Kisah dirinya yang tidak diharapkan oleh keluarga kandung... " Jika aku tau kau akan besar menjadi berandalan bodoh tak berguna, seharusnya aku menggugurkanmu. " ' Gue tau... gue beban. Berusaha semaksimal mungkin juga baka...