" Senyum candu menarik tawa lebar di sela waktu."" Agh! Ayah, itu zombienya mau gigit Raven! " teriaknya heboh memeluk lengan kekar Arthur. Si dominan dengan sigap menyeru agar bayinya berlindung di balik tubuh jangkung.
Dor! Dor!
Tembakan mulus mengenai kepala para zombie, bakat Arthur bahkan mendarah daging hingga dalam game arcade. Ya, mereka tengah asik tembak-menembak zombie di area bermain yang terletak di lantai paling atas Mall. Lengkap dengan kacamata virtual, ayah dan anak ini mengundang atensi semua orang karna paras juga pekikannya.
" Ayah, curang! Bolanya dimasukkan dari sini, jangan dipegang terus dimasukkan dari dekat gitu! "
" Ini lebih baik. "
Sekarang mereka bermain ' Street Basketball ' . Raven kesal karena tingkah licik ayah. Bagaimana tidak, Arthur dengan gampangnya menyentuh keranjang tanpa harus melempar. Tangannya keluar masuk memburu poin dengan cepat. Tubuh Raven yang tidak mendukung terpaksa harus mengikuti aturan main seharusnya.
" Apa-apaan itu, Ayah gak pande nari hahaha, bukan gitu Ayah, tapi gini! " Raven tertawa renyah melihat tubuh sang Ayah kaku saat bermain 'dance dance revolution'. Arthur kalah telak menerima pasrah kekalahannya. Kaki bocah kecilnya dengan lincah mengikuti alunan lagu di atas lantai berlampu.
" Ayah, Ayah, itu yang di sudut bonekanya mau jatuh! "
" Okay. "
Grep! Puk!
" YEAY! BERHASIL! "
Teriak mereka bersamaan setelah mendapatkan boneka beruang besar. Bertos ria sambil tertawa sebagai penutupan. Mereka menikmati waktu berdua. Tawa dan canda yang tak pernah diekspresikan oleh Arthur, keluar dengan bebas ketika bersama putra bungsunya.
Semua orang sedari tadi memperhatikan, mengira mereka menjalin keharmonisan anak dan ayah kandung. Namun nyatanya tidak, tatapan sayang Arthur tak menjadi acuan bahwa mereka sedarah. Detik ini adalah waktu berharga bagi keduanya, pertama kali melepas bahagia nyata untuk mengisi kekosongan bagi kisah lama.
" Masih ingin bermain? " Arthur menggendong Raven di belakang pundaknya.
" Raven lapar, ayo makan! " serunya mengepalkan satu tangan ke atas. Arthur terkekeh, masih ingat makan juga batinnya. Terlihat salah satu restoran yang tak jauh dari area bermain. Seolah dirancang khusus penempatannya. Mereka masuk dituntun para pelayan menuju meja kosong. Raven memilih menu kesukaannya.
" Mau makan apa? " menyingkap anak rambut Raven agar tak menghalangi mata.
" Raven mau nasi goreng seafood! " pelayan langsung mencatat menu pesanan mereka. Arthur memesan menu yang sama.
" Khusus bayi besarku tidak pedas. " Pelayan wanita mengangguk dengan semburat rona setelah melihat senyum manis Arthur ketika lelaki itu menyerahkan buku menu padanya.
' Papa Gula angkat aku menjadi istrimu. '
batin mereka para kaum hawa di sana. Belum tau aja, Ayah si bayi manusia haus darah.Netra Arthur menangkap mata bulat bungsunya kian memberat. Mulut kecilnya masih mengunyah pelan. Wajahnya hampir mengenai piring, begitu lelahnya Raven hari ini. Arthur mengabadikan momen lucu bocah kecilnya. Mengirimkan gambar tersebut pada dua putranya yang lain.
" Bahkan sekarang bayiku masih terlihat manis." jari telunjuk Arthur menoel hidung mungil Raven. Berdiri membalut tubuh Raven dengan jas yang sedikit menenggelamkan tubuhnya. Arthur menggendong bocah tengil yang sudah mencari posisi nyaman di pundaknya. Berjalan keluar setelah membayar semua sekaligus memberikan uang tip sebagai tanda bahwa hatinya tengah berbunga.
.
.Langit sudah berganti gelap waktu sang bulan siap berjaga. Raven masih terlelap walau mereka sudah sampai di dalam mansion. Disambut semua pelayan juga kedua kakaknya.
" Bayiku perlu istirahat dengan tubuh bersih--" Raven diserahkan pada Kai. Sebelum berbalik pergi meninggalkan mansion kembali, Arthur menyisipkan pesan langsung lewat bilah bibirnya.
" Aku harus mengurus sesuatu." kembali pergi bersama Feri. Urusan mereka menyangkut dunia bawah harus diselesaikan secepatnya. Kai dan Kei masih sedikit kaget saat melihat beberapa barang belanjaan. Arthur menghabiskan waktu dengan Raven di Mall mengesampingkan pekerjaannya adalah hal yang langka.
Biasanya pria dominan itu tidak ingin diganggu menyangkut suatu pekerjaan. Tapi hari ini, dengan mudahnya si bungsu berhasil membuat sosok rupawan tunduk padanya. Senyum miring tercetak di wajah kembar, menatap mobil Arthur yang kian menjauh. melanjutkan langkah ke dalam kamar Raven.
Bocah itu merenggangkan kedua tangannya tepat setelah Kai memandikan Raven yang tadinya masih enggan membuka mata. Kei memakaikan minyak telon, bedak bayi lalu piyama berlengan panjang. Mengeringkan surai hitam Raven dengan hairdryer.
" Kakak, " suara parau terdengar, tangannya mengucek mata pelan. Dibalas deheman dari dua titan itu.
" Ayah, mana? "meneliti sekitar, baru sadar bahwa dirinya sudah di kamar.
" Kerja," ucap Kai menuntun Raven berbaring di ranjang empuknya. Raven mengangguk lesu, Ia mendelik ketika teringat sesuatu.
" Raven punya hadiah untuk Kakak! " pekiknya kontan bangkit mengabaikan teguran kedua remaja yang melarangnya berteriak. Tangannya merogoh salah satu bingkisan, berbalik dengan mata binar. Memberikan dua buah boneka yang dibelinya untuk sang kakak.
" Tada! Raven beli ini untuk Kakak! " menyerahkan masing-masing satu boneka. Kai dengan boneka bertopi hitam dan Kei dengan boneka bertopi kuning.
" Kau membeli ini untuk kami? " tanya Kei memastikan. Raven mengangguk semangat.
" Iya, pakai uang ayah. Jadi, Raven sama ayah yang beli ah bukan, Raven aja 'kan Raven yang milih! " serunya dengan senyum lebar membuat kedua matanya ikut menyipit.
" Suka nggak? " tanyanya mendekatkan wajah tengil itu dengan kedua wajah pawangnya. Kai dan Kei tak kuasa menatap mata bintang bayi besar De Lerion, mereka memilih mundur beberapa centi menutup wajah Raven dengan telapak tangan.
" Ini mirip sepertimu," Kai menatap boneka di genggamannya. Kei ikut mengangguk setuju. Itu benar nyatanya, boneka bebek tersebut memiliki kesamaan dengan Raven. Terutama mulutnya yang lancip itu. Menandakan bagaimana cerewetnya seorang Raven. Pipinya yang merona serta tembam. Sungguh, si bungsu duplikat nyata dari sang bebek.
" Raven bukan bebek! " mempoutkan bibir ranumnya. Kai dan Kei refleks menatap satu sama lain. Kei tanpa sadar berpose menunjukkan Raven bak sebuah show di televisi tatkala melihat bibir apik Raven.
" Ini bebeknya."
__________________SELESAI________________
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVEN [ ✔ ]
Teen Fiction[ BELUM TAHAP REVISI ] • Kisah dirinya yang tidak diharapkan oleh keluarga kandung... " Jika aku tau kau akan besar menjadi berandalan bodoh tak berguna, seharusnya aku menggugurkanmu. " ' Gue tau... gue beban. Berusaha semaksimal mungkin juga baka...