" Izinkan saya merasakan, definisi dari sebuah keluarga yang nyata. "
.
.Raven menyingkap selimut, membebaskan kaki pendek menapaki marmer. Bersembunyi di balik tubuh kekar Arthur, lalu menautkan kelima jari dengan telapak tangan sang ayah. Saat melewati kedua putra lain yang membuka jalan untuk mereka, dengan isengnya bocah tengil itu memijak kaki kiri Kaizel dan kaki kanan Keizo tanpa wajah bersalah.
" AYAH! " Pekikan nyaring menggema, setelah tangan kurusnya nyaris tertangkap oleh si sulung. Raven bergelantung di pinggang Arthur yang langsung membawa bocah jahil ini dalam gendongan. Berani juga menggangu patung de Lerion, batinnya.
" Lo! Gue! End! " Tak ada angin apalagi hujan. Raven memperagakan dengan lucu, bagaimana dirinya memutuskan secara sepihak untuk tidak menjalin tali persaudaraan dengan mereka yang membuatnya insecure.
" Bagaimana menurutmu? " tanya Kei, di sela-sela tatapan mereka yang masih setia memandang punggung Raven yang hampir menghilang menuju ruang makan.
" Seperti bayi, " seringaian Kai tercetak samar di wajah datarnya.
" Aku menyukainya. " Putus Kei mantap, menoleh melihat Kai.
" Dia tidak menyukaimu," ujaran santai namun berhasil menohok harga diri Kei saat itu juga. Kei berdecih sebelum mereka berdua berjalan menuju ruang makan membawa aura permusuhan. Mereka melihat Raven tengah duduk di samping Arthur dengan muka masam.
" Raven gak sukak ini, " didorongnya mangkuk kaca yang berisi salad sayur segar. Ekspresi mual sesuai perasaan ia tunjukkan.
" Bukankah kau ingat perjanjian kedua? " ujar Arthur membuat Raven berpikir sejenak.
" Makan minum yang sehat... istirahat yang cu...kup? " lirihnya menoleh ke Arthur, lalu kembali pada salad sayur yang menguarkan aura pekat bak ramuan racun. Ketiga pria di sana menyeringai seram, tatkala menangkap ekspresi sesal Raven pada makanan hijau di hadapannya.
" Gak! Raven gak mau! Makanan sehat banyak Ayah! Gak harus ini ! Huek! " tutur Raven semakin menjauhi mangkok tersebut.
" Seperti apa yang sehat? " tanya Kei ikut bergabung. Raven meneliti meja makan mencari makanan lain selain itu.
" Seperti...ehmm~ Seperti... " Raven kebingungan melirik sana sini, namun hanya mendapatkan semua makanan berbahan dasar sayur. Dengan gugup tangannya menyambar sandwich , ia langsung mengambil lembaran rotinya saja menyingkirkan isi penuh di dalamnya.
" Seperti ini! Roti tanpa isi, dari gandum pilihan yang dibesarkan sepenuh hati! " di angkatnya dua lembar roti bak dewa. Kei yang menyaksikan hanya bisa menahan tawa, berbeda dengan Kai dengan elegan menikmati sarapannya.
" Heh! Kok Lo makan roti pake coklat! Gue kagak! " sarkasnya pada putra sulung Arthur.
" Berbicara yang sopan, " Kai berujar datar tanpa menatap Raven yang geram.
" Gak mau! " Raven duduk memakan roti tanpa isi, lalu meminum susu stroberi dengan perasaan buruk. Pipi gembul bergerak seirama membuatnya terlihat seperti tupai. Kakinya dihentak-hentakkan karna kesal. Kai hanya diam berbeda dengan Kei yang menyimpulkan senyum. Setelah mereka selesai, keduanya berdiri melangkah pergi melakukan aktivitas seperti biasa.
" Ayah! Raven juga sekolah hari ini!"
Ia menepuk jidat melupakan hal terpentingnya tatkala melihat simbol sekolah di almameter Kaizel kakak pertamanya.
" Kakak! nebeng! " teriaknya berlari cepat menghampiri Kai dan Kei. Yang terpanggil menoleh saat Raven tanpa disuruh memanggil mereka dengan sebutan langka.
" Kau ingin bersekolah seperti ini " Kei melihat dari atas kebawah, yang benar saja Raven masih acak-acakkan bermodal piyama bermotif tayo dari sang Ayah. Persis seperti anak balita bangun tidur.
" Anterin Raven ke tempat teman, " ujarnya. Raven tau Elang dan lainnya pasti khawatir jika tidak datang. Apalagi tidak memberitahu mereka dari semalam.
" Tidak ada kerumah teman, " sambung Arthur berjalan kearah mereka.
" Ayah ~ Raven cuman butuh sebentar aja sama mereka. Ayah juga boleh ikut nemenin Raven " jelasnya dengan wajah melas. Melihat tatapan puppy eyes putra bungsunya itu, entah mengapa Arthur tak bisa menolak. Ia memerintahkan pelayan mengambil sweater serta sepatu nyaman untuk si kecil.
" Pakai ini dan cepat kembali. Ayah ada urusan tidak bisa menemanimu. Ingat Ayah memantaumu, jadi pulang tepat waktu." Arthur memasangkan sweater berwarna cream pastel. Kedua putranya yang lain tertegun melihat perlakuan Arthur yang begitu berbeda pada Raven.
Cup!
" Siap! " Semua orang termasuk anak buah serta para pelayan membeku juga oleng, ketika Raven refleks mencium pipi si kepala keluarga. Raven hanya ingin memberikan hadiah buat Arthur yang sudah berusaha memberikan apa yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
" Kakak, Ayo! " Raven menarik kedua tangan saudaranya.
" Bye-bye, Ayah~ " Raven tersenyum lebar menampilkan deretan giginya hingga matanya ikut menyipit. Semua orang menggigit pipi dalam menahan keimutan bungsu baru de Lerion. Ini akan menjadi perubahan baru. Arthur masih terdiam memegang pipi kanan, letak bekas kecupan singkat Raven.
Kai dan Kei tersenyum simpul, mereka sadar sekarang apa yang membuat pimpinan mafia itu nyaman bersama bocah tengil ini. Bahkan mereka tidak pernah bersikap manja sedari dulu pada Arthur.
' Tidak buruk ' pikir keduanya.
Sesampainya didepan gerbang mansion Elang. Terlihat remaja campuran itu sedang memanaskan motor besarnya bersiap untuk pergi. Raven dengan cepat keluar dari mobil yang dibawa oleh Kakak pertamanya.
" Jangan berlari! " teriak Kai dari dalam mobil membuat Raven mengurungkan niatnya. Ia berjalan dengan cepat ditambah keringat dingin.
" Kakak! " Raven menjerit sambil melambaikan tangannya kearah Elang.
" Apa katanya, Kakak? " Kai dan Kei menatap satu sama lain, lalu spontan menoleh ke arah Raven. Di sana, terdapat Elang yang mendelik melihat bayi besarnya kini di depan mata. Ia menghampiri Raven dengan wajah normal seperti biasa.
" Dengan siapa? " tuturnya dingin memegang bahu Raven , menggoyang ke kiri ke kanan. Memeriksa apa bayinya ini terluka.
" Mereka, " tunjuk Raven tepat ke arah dua remaja lain yang sudah keluar dari mobil. Tak bisa dipungkiri raut mencekam si kembar menatap Elang tajam. Elang memilih abai.
' Beraninya Kau menyentuh Adikku. '
" Siapa? " tangan Elang mulai menjalar, mengelus surai hitam Raven.
" Ceritanya panjang! Raven gak bisa sekolah hari ini. Raven mau bilang Raven jadi anak pungut sekarang!" serunya bangga. Baru kali ini jadi anak pungut bangga pikir Elang.
" Bagaimana? " Elang butuh penjelasan.
" Raven kemarin diusir dari rumah, terus Raven diangkat jadi anak bungsu keluarga mereka. Nama Raven sekarang ada De Lerionnya! Bukan Dixon lagi Kak! "
Matanya terus berbinar bahagia, segitu senangnya Raven melepas marganya. Elang menghadiahkan senyum langka, mengelus pipi si bayi begitu lembut.
" Baiklah. " Raven tau betapa pelitnya Elang dengan kata-kata. Namun, Ia suka melihat senyum pemuda itu yang hanya sering diberikan padanya.
" Raven lupa nomor Kakak, nanti kita jumpa di sekolah. Raven pulang dulu, ya!" Ia memeluk Elang, lalu pergi melambaikan tangan. Raven benar- benar berubah, seolah mengulang masa kecil yang haus akan kasih sayang. Sekarang, tanpa malu sosok bermanik madu itu mengeluarkan sifat manjanya.
.
.
__________________SELESAI________________
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVEN [ ✔ ]
Teen Fiction[ BELUM TAHAP REVISI ] • Kisah dirinya yang tidak diharapkan oleh keluarga kandung... " Jika aku tau kau akan besar menjadi berandalan bodoh tak berguna, seharusnya aku menggugurkanmu. " ' Gue tau... gue beban. Berusaha semaksimal mungkin juga baka...