" Sungguh, sulit untuk mengatakannya. Jadi, jangan mengecewakan saya."
.
.Rembulan menyinari malam mendominasi sunyi. Berjalan menuju balkon hendak menenangkan diri. Menenteng lesu gitar akustik putih dengan ukiran nama singkatnya. Ingin mengatakan lewat pahatan nama bahwa alat petik itu didesain khusus untuknya. Duduk bersandar menatap luasnya cakrawala hitam bertabur bintang.
Jari panjang nan lentik dengan lihai memetik senar begitu damai. Alunan merdu menerbangkan nada sendu. Kalimat pilu menyeruak menggangu pikiran, membuatnya kontan menghentikan permainan. Satu kalimat yang menjadi pegangannya untuk bertahan, juga alasannya memilih meninggalkan.
' Kakak akan jaga Raven. '
" Gue tau lo selalu jaga Gue. Tapi, semakin lo ngejaga Gue, semakin Gue yang sakit. Gue yang cuma bisa jadi bayang-bayang lo, akan terus ketinggalan. Gue capek ngejar lo yang selalu jadi panutan."
" Lo selalu ngasih pandangan kasihan, gak pernah benar-benar ngertiin Gue. Gak pernah nerima alasan Gue nakal juga ulah ortu lo. Bahkan, lo sulit percaya sama apa yang Gue pilih, selalu bilang apa yang Gue lakuin salah! Gue capek bilang kalau kita itu beda, kak! "
Raven meremas leher gitar, lalu meletakkannya di lantai. Hatinya berdenyut ngilu dengan netra memanas. Menarik kedua kaki agar bisa didekap erat. Ia membenamkan wajah gusar yang kian penuh derai air mata. Isakan kecil terdengar bergabung dengan sunyinya malam.
" Raven mau kakak nerima pergaulan Raven, tingkah Raven, keputusan Raven. Raven cuma butuh itu. " Bocah itu terus menepis kasar cairan emosi dari pelupuk mata.
' Sekarang, izinkan Raven merasakan rasanya keluarga. Mereka buang Raven di akhir juga gak masalah, selama Raven udah tau gimana rasanya. '
" Bego! Air mata sialan! Pake acara nangis segala! " sewotnya. Ia spontan berdiri melangkah ke depan, mendekati railing balkon berbahan dasar kaca. Menghela napas sejenak menerima sapuan angin yang menyapa, pupilnya mengecil tepat saat dirinya melihat ke arah bawah.
Bruk!
Tubuhnya ambruk terduduk kaku, deru napas santai seketika memburu. Keringat dingin mulai menghiasi pelipis dahi, bibirnya ikut pucat pasi setelah dua pasang mata menangkap jelas kolam renang luas di bawah sana. Raven dengan cepat mundur menjauhi tubuh yang bergetar dari pembatas.
Kelima jari meremas dada yang seakan mencekat. Boomerang Arav mulai terputar di kepala. Trauma bocah itu terbangun saat itu juga. Puing yang hampir terlupakan kini berhamburan datang menyerangnya. Raven kalut menjambak rambutnya. Kepalan tangan terus memukul berkali-kali kepalanya, berharap kilasan seram itu sirna.
" Argh!!! G-gimana, gimana kalau dia bunuh Raven! Raven... Raven takut..." tergopoh-gopoh berdiri bertumbu pada dinding meraba sekeliling, berjalan linglung mencari apa yang dibutuhkannya. Tangan tremor merogoh setiap laci kamar. Paniknya semakin tak terkendali hingga keputusan terakhir ia lontarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVEN [ ✔ ]
Teen Fiction[ BELUM TAHAP REVISI ] • Kisah dirinya yang tidak diharapkan oleh keluarga kandung... " Jika aku tau kau akan besar menjadi berandalan bodoh tak berguna, seharusnya aku menggugurkanmu. " ' Gue tau... gue beban. Berusaha semaksimal mungkin juga baka...