" Gue belum sepenuhnya
salah milih keluarga, ya, kan? "
Raven tersentak hebat tatkala air dingin menghantam kuat ubun-ubun kepalanya. Melotot. Menegakkan tubuh yang tengah duduk di atas lantai kamar mandi ruang kamar Arthur. Iris madu yang semakin membulat seketika nanar. Mencerna situasi, menatap sosok dominan di hadapan. Gemertak gigi Raven terdengar. Netra datar ayah berhasil menancapkan ketakutan." Ayah, " sebentar, tangannya mengepal kuat. Masih menjalin kontak dengan Ayah yang marah. Tak ada balasan beberapa detik. Hanya terdengar berurutan, tetesan air dari keran yang tak tertutup rapat. Batin Raven masih terus mengumpati kedua kakaknya. Mereka pasti bilang sesuatu sama ayah. Sial.
" Kau berbohong. Mereka bahkan ikut menutupi kesalahanmu, lucu sekali. " Tenangnya suara Arthur menggema, meredam kebisingan air yang terhempas tadi. Raven merutuki dirinya. Bodoh sekali dia mencurigai kakaknya. Ah, ia jadi merasa lebih bersalah sekarang. Membuang muka, enggan melanjutkan adu pandang dengan ayah. Seram.
" Ya... Maaf, Raven kelupaan. Serius. " Tak banyak jarak waktu untuk guyuran kedua di tubuhnya. Arthur tidak mengindahkan alasan sederhana bocah itu. Kesal. Raven terlampau emosi melihat tindakan ayah yang tiba-tiba berubah.
" Raven bilang, Raven minta maaf! " pekikan dengan pecahnya kepingan kaca di matanya meluncurkan tangisan. Raven benci ayah yang seperti ini. Jujur, Raven lebih kentara akan sifat pembetak yang cengeng. Kakinya menekuk, menenggelamkan wajah kacaunya di sana. Diamnya Arthur seakan memberikan durasi kosong untuknya menumpahkan keluh-kesah.
" Raven janji gak nakal lagi... " suara nyaring sebelumnya lenyap akan lirihan Raven pada ayah. Masih mendekap wajah tak mau menatap sosoknya. Hingga, tarikan lembut dengan balutan handuk memblokir hawa dingin yang menghujamnya. Telatennya Arthur mengeringkan tubuhnya membuat Raven bungkam. Dibawa keluar untuk dipangku oleh si dominan.
" Aku tidak suka jika bayiku berbohong. Maka dari itu, jangan mengulanginya lagi."
helai-perhelai rambutnya kering oleh hairdryer. Tangan besar ayah sangat lihai membuatnya kepalanya nyaman. Anggukan Raven berikan sebagai jawaban. Memeluk Arthur semakin haus akan kehangatan ini." Raven janji. Tapi, Ayah masih izini Raven sekolah, kan? " wajahnya tak berpindah dari dada bidang Arthur sebagai sandaran. Semakin erat pelukannya pada sang ayah yang juga memberikan usapan.
" Tentu. " Persetujuan dari Arthur membuat perasaannya membuncah senang. Tangannya terbentang ketika ayah membantu memakaikan piyama. Bibir ranum yang sedikit kebiruan terus menyimpulkan senyum di setiap ocehan.
" Ayah, Ayah, tadi, Raven cuma makan es krimnya sedikit. Raven juga makan buah tadi. Terus, Raven makan bekal sama susunya sampai habis! " Binar di matanya membuat Arthur setia menatap tulus. Surainya dielus lembut oleh ayah yang menjadi pendengar tanpa bantahan. Ujung hidungnya dicubit pelan dengan tawa kecil Arthur.
" Jika bukan karna temanmu, kau pasti akan memakan lebih dari satu porsi. " Raven dibawa dalam gendongan menuju dapur. Tangan Raven sudah mengalung di pundak tegap Arthur. Mulutnya mengerucut menumpukan dagu di bahu ayahnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVEN [ ✔ ]
Teen Fiction[ BELUM TAHAP REVISI ] • Kisah dirinya yang tidak diharapkan oleh keluarga kandung... " Jika aku tau kau akan besar menjadi berandalan bodoh tak berguna, seharusnya aku menggugurkanmu. " ' Gue tau... gue beban. Berusaha semaksimal mungkin juga baka...