EPILOG

42.6K 3.6K 273
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

......

Bertanya-tanya, gelap yang terlihat sekarang menimbulkan penasaran. Langkah demi langkah terasa berat, terus menyunggingkan senyuman. Pijakan dalam tumpukan butir pasir yang ikut masuk dalam sepatu, menambah keingintahuan. Tarikan pelan sebagai arahan membuatnya geram, ingin mengintip pandangan.

" Ayah, kita mau ke mana? Raven gak bisa lihat apa-apa, tau! Kalo Raven jatuh gimana? "

" Aku hanya perlu menangkapmu. "

Ia berdecak kesal. Rasa keponya meningkat tajam. Setelah turun dari mobil, kedua matanya dililit oleh kain. Berjalan, mengikuti tangan besar yang sedari tadi menuntun. Gambaran tempat yang dicecahkan sekarang bahkan tak bisa dibayangkan.

" Sampai. "

Jantungnya berpacu merasakan semilir angin. Pikirannya dibuat kalut. Memejam, selama Arthur melerai ikatan. Perlahan, kelopak mata terangkat menyelaraskan. Sinar hangat berlomba-lomba masuk dalam irisnya. Kedua manik madu semakin lebar terbuka. Fenomena memukau di depan, membuat waktu terhenti untuk sementara. 

Matahari mulai terbenam, termakan hamparan lautan. Silau jingga yang menyala, mendominasi langit begitu nyaman. Gemerisik samar sang ombak menghantam lembut sebagai sambutan. Ciptaan tuhan begitu indah, sampai netranya siaga membentuk perisai kaca.

" Cantik... "

Sangat cantik, hingga ia lupa bahwa manusia memiliki banyak kosa kata. Tampak, senja hadir mencoba merekam semuanya. Lautan biru mencoba menyapu ingatan yang bergemuruh. Namun, tidak benar-benar mengusir utuh. Vokalnya kembali terbang.

" Ayah, "

" Hum? "

" Ombaknya, buat Raven keinget sama kolam. Tapi, Raven gak takut sekarang. "
Sejenak, hening singgah menemani. Cemasnya dihembuskan. Ia menoleh, mengirim tatapan. Arthur diam, menerima baik pandangan. 

" Raven sadar, ternyata yang lebih menakutkan itu kesendirian. " Jarinya meremas telapak tangan Arthur. Senyumnya mulai timbul. Sendunya ikut muncul.

" Ayah... gak akan ninggalin Raven, kan? "

Tamparan fakta menyadarkan, bahwa di antara mereka tak ada jalinan darah. Ia menerka suatu saat nanti, hal itu bisa menjadi alasan kuat suatu kehilangan. Pertemuan yang tidak disengaja, membuatnya bersyukur sekaligus ragu.
Apakah setelah ini akan berakhir sama, dimana salah satu pihak memilih pergi.

Yang aku tau...kepergian setelah mengenal kasih itu perih.

Paru-parunya seolah terhimpit batu besar. Keraguan yang asing terlihat menunggu kepastian dari pria di hadapan. Nyalinya terus menguar, mempertahankan bibirnya yang ngilu atas apapun jawaban. Arthur bertekuk lutut, membongkar lebih dalam manik madu yang memancarkan ketakutan.

Tangannya terulur, menggantungkan sebuah bukti pengikat janji di leher Raven. Pria yang terkenal datar itu, kini menampilkan raut yang teduh. Seringai angkuhnya, digantikan dengan senyum yang mekar.

RAVEN [ ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang