32

31.2K 3.2K 77
                                    

" Jangan bertanya jika menolak mendengar jawabannya. "

 "

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.

Setelah beberapa menit kepergian pasangan aneh tadi. Faren dan Arthur kehilangan topik sementara. Setelah perdebatan mereka tadi diputus sepihak, guna menyapa karib lama. Suasana canggung memeluk mereka, terkecuali Raven yang terus menyunggingkan senyum memandang stiker pemberian Kala.

Arthur mengambil keputusan memulai langkah, berjalan keluar ruangan. Pembahasan terakhir tentang wanita benar-benar hal yang absurd. Benar kata si pirang bahwa mereka kekanakkan. Langkah Arthur terhenti ketika Faren mencekal tangannya. Posisi mereka sejajar hanya berbeda arah hadapan yang berlawanan.

" Apa lagi yang kau inginkan. " Arthur melirik tangannya yang terus dicengkram oleh Faren.

" Kelinci dalam gendonganmu. Aku belum menyerah untuknya. "

Rahang Arthur mengeras menahan emosi mendengar perkataan Faren. Raven yang merasa aura dingin langsung mendongak memperhatikan keduanya.

" Kau tidak perlu takut. Aku akan terus mengganggu walau sekarang kau memilikinya. Bukankah itu tugas seorang HAMA~ "

Faren tertawa kecil mengangkat kedua tangannya berlagak sombong. Berjalan ke arah dimana dinding kaca yang sudah tak ada lagi penghalangnya. Duduk menjuntaikan kaki menikmati siulan angin dengan senyuman lara. Hutan luas terlihat jelas dari ketinggian ini.

' Ya akhirnya selalu begini.'

Raut wajah terlihat pilu. Sadar akan ending dari perdebatannya masih seperti dulu. Dia yang selalu kalah akan kembali menarik diri.

" I shouldn't came back. "
( Aku seharusnya tidak kembali)

Faren berdiri melihat ke bawah . Betapa tingginya ruangan membuatnya gamang.

" Mati juga hanya merepotkan. Ah siapa yang peduli dengan hama~ "

Melunturkan senyum mengepalkan tangan yang masih terus meneteskan darah. Dadanya sesak, tenggorokan perih dengan cap jari Arthur.

" Papa... "

Faren melotot mendengar suara Raven yang begitu lembut menenangkan hatinya. Ternyata masih tak lupa dengan panggilan khasnya, batin Faren senang. Raven yang langsung turun dari gendongan Arthur meminta sang ayah keluar lebih dulu.

" Yes...what is it... " jawabnya tak kalah lembut. Sedikit mundur dari posisinya agar Raven tidak semakin dekat dengan tempat berbahaya, yang bisa membuat kelincinya jatuh kapan saja.

" Raven sayang Papa..."

Raven berjongkok menarik pelan ujung  kemeja Faren. Kalimat yang tak pernah didengar sebelumnya. Dengan lihai terucap dari bilah bibir anak manisnya. Faren mengingat sifat bejatnya pada Raven bagai boomerang. Seketika membuatnya merasa bersalah. Ia benci rasa ini bak senjata tajam yang memaksa agar terluka.

RAVEN [ ✔ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang