SENIN. Hari yang menyebalkan karena faktanya, banyak orang terlalu malas untuk memulai aktivitas pada hari itu setelah berlibur dan beristirahat di akhir pekan. Termasuk untuk mahasiswa seperti Riana, hari ini perempuan itu memasuki semester ganjil perkuliahan. Padahal, dia masih ingin menikmati hari yang bebas tanpa belajar atau mengerjakan tugas. Hal yang lebih menyebalkan lagi, hari ini Alva resmi keluar dari rumah dan pindah ke Penthouse karena ingin tinggal sendirian sekaligus melanjutkan studinya.
"Kak, jangan pindah, nanti aku sendirian," bujuk Riana untuk kesekian kalinya pada sarapan kali ini.
"Masih ada Mommy dan Daddy, Princess," balas Alva, berusaha memberikan pengertian pada adik kesayangannya itu.
"Mommy dan Daddy hanya sibuk berdua," keluh Riana, memandang sinis kedua orang tuanya yang sedang bermesraan di dapur.
"Tempat tinggalku yang baru lebih dekat dengan kampus dan kantor," ucap Alva sabar. Pria itu memang melanjutkan studinya di perguruan tinggi negeri ternama, tapi sambil bekerja juga di kantor. Tinggal di Penthouse tentu akan menghemat waktunya karena arah rumah dan kampusnya tidak searah.
"Jangan-jangan..., Kak Alva punya pacar ya?" tebak Riana asal, yang berhasil menarik perhatian kedua orang tuanya.
"Sembarangan," cibir Alva kesal, lalu berjalan keluar rumah tanpa berpamitan.
"Kakakmu jelas sedang marah, Princess," kompor Eros sesampainya dia di meja makan.
"Aku tidak peduli," balas Riana acuh tak acuh. Lagipula, Alva selalu diam. Marahpun diam, tidak pernah menggerutu sendiri seperti Anzel.
"Padahal, sebentar lagi ulang tahunmu. Apa kamu tidak ingin merayakannya bersama dengan Alva?" tanya Laura.
Riana merengut, kembali mengingat keusilannya pada Alva yang mengakibatkan pria itu enggan datang ke perayaan ulang tahunnya yang ke-15. Satu minggu sebelum hari ulang tahunnya, dia memang mewarnai mobil Alva yang tadinya berwarna hitam jadi warna pink dengan cat dinding. Kakaknya itu memang hanya diam, benar-benar diam selama satu bulan dan tidak berbicara kepadanya, bahkan dengan satu keluarga. Tapi untungnya, hubungan mereka membaik setelah Riana membelikan mobil yang sama menggunakan uang tabungannya sendiri.
"Baiklah, aku akan ke Penthouse-nya hari ini," ucap Riana malas.
"Baguslah kalau begitu. Jangan buat Kakakmu pergi dari rumah selamanya, Princess. Mommy pasti akan sedih," ujar Eros.
Dahi Riana berkerut, "Memangnya Daddy tidak sedih?" tanyanya bingung.
Dengan mantap Eros menggeleng, "Nope. We can make another one," jawabnya enteng sebelum lengannya dipukul pelan oleh Laura.
"Aku tidak ingin adik lagi," protes Riana sebal.
"Aku juga tidak ingin hamil lagi," timpal Laura dengan mata yang menghunus tajam pada suaminya.
"Baiklah.. baiklah. Tidak ada yang memaksamu untuk hamil lagi, Mommy," ucap Eros memilih untuk mengalah.
Selanjutnya, mereka bertiga kembali sarapan dengan tenang. Riana menghela napasnya. Tadi malam, Anzel meminta uang 50 juta rupiah kepadanya untuk biaya sewa apartemen di Amerika. Kembarannya itu memang baru saja membeli mobil baru. Sebagai seseorang yang sudah berbagi rahim bersama, Riana tahu bahwa tujuan Anzel sebenarnya adalah memamerkan kehidupannya yang baik di Amerika. Tapi tetap saja, uang sakunya selama dua bulan sudah dikorbankan untuk kehidupan baik kembarannya itu.
"Daddy, bolehkah aku meminta uang tambahan?" tanya Riana hati-hati begitu Eros menyelesaikan sarapannya.
"Untuk apa? Bukankah uang sakumu selama dua bulan sudah Daddy transfer?" tanya Eros dengan alis terangkat satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guilty Pleasure [✔️]
Romantizm[21+] "𝘞𝘩𝘢𝘵 𝘥𝘰 𝘺𝘰𝘶 𝘸𝘢𝘯𝘵 𝘵𝘰 𝘣𝘦, 𝘮𝘺 𝘨𝘪𝘳𝘭?" Mata bulat anak perempuan berusia 5 tahun itu menatap Ayahnya dengan polos. "𝘊𝘢𝘯 𝘐 𝘣𝘦 𝘢 𝘗𝘳𝘪𝘯𝘤𝘦𝘴𝘴, 𝘋𝘢𝘥𝘥𝘺?" Sang Ayah tersenyum mendengar jawaban putrinya, "𝘠𝘰...