Tinit. Tinit. Tinit.
SUARA alarm disertai dengan terbukanya tirai lebar di kamar itu secara otomatis membuat Alva tersadar dari tidur lelapnya. Matanya mengerjap pelan ketika teringat bahwa masih ada Riana yang tertidur lelap. Karena tidak ingin Riana bangun, pria itu kembali menutup tirai, membiarkan adiknya tertidur lelap sebelum keluar dari kamarnya.
"Sudah sampai?" tanya Alva basa basi seraya menuangkan cold brew ke gelasnya.
"Hm, baru satu jam yang lalu."
Tadi malam, Anzel menghubunginya dan berkata bahwa sedang ada pekerjaan di negara ini. Tadinya Alva tidak peduli, tapi Anzel berpikir lebih baik menginap satu hari di Penthouse-nya daripada menunggu jam check in hotel. Adiknya itu memang sedang dalam kategori miskin karena baru saja membeli mobil baru.
"Ada Riri di dalam," ungkap Alva tanpa di minta.
"Riri? Ngapain dia disini?" tanya Anzel heran. Kakinya melangkah menuju dapur, mengamati kakaknya yang sekarang sedang menaruh roti ke dalam pemanggang roti.
"Semalam ketiduran," jawab Alva singkat, seperti biasa.
"Tumben dia repot datang kesini," ujar Anzel sambil meraih satu gelas lagi dan ikut menuangkan cold brew ke gelasnya.
Alva hanya menaikkan kedua bahunya acuh, membiarkan adiknya berasumsi karena dia malas menjelaskan tentang kejadian kemarin.
"Gue bakal pergi habis makan siang," ucap Anzel yang hanya diangguki kakaknya.
Seakan tahu kalau dirinya sedang dibicarakan, suara langkah kaki terdengar menuruni tangga dan muncullah Riana yang sedang berjalan menuruni tangga sambil mengerjapkan matanya. Langkah kakinya tidak seimbang, namun perempuan itu berhasil menginjakkan kakinya di dapur dengan aman.
"Kenapa bangun, Princess?" tanya Alva heran.
"Alarm," jawab Riana singkat yang membuat kedua kakaknya mengangguk paham.
Tunggu...
Kenapa ada si bangsat Anzel disini?!
"Hi, Princess," sapa Anzel dengan senyum miringnya saat menyadari tatapan tajam Riana yang mengarah kearahnya.
"Ngapain lo disini?" tanya Riana sinis.
"Suka-suka gue!"
"Kenapa gak di Apartemen lo aja? Kan mahal tuh, 70 juta sebulan," sindir Riana pedas, masih belum merelakan 50 juta uang jajannya untuk kembarannya itu.
"Gue ada kerjaan sampai hari Sabtu, Princess."
"Terus ngapain disini? Gak punya uang buat sewa hotel?"
"Yang sopan sama Kakak kamu, Princess," tegur Alva, sedangkan Anzel memegang dada kirinya, seakan merasa sakit hati dengan perkataan Riana.
"Jam check in masih lama, Riri," balas Anzel sabar.
Riana hanya mencibir pelan, lalu mengedarkan pandangannya dan terbelalak. "Kenapa Kakak punya majalah Auramode disini?" tanyanya heran.
Tatapan Alva ikut jatuh pada setumpuk majalah dan koran di ruang tamu. "Oh, setiap Penthouse ini dibersihkan memang selalu diganti koran dan majalahnya."
Dahi Riana berkerut, "Tapi buat apa? Kakak gak punya waktu untuk sekedar baca koran, apalagi majalah," ucapnya.
"Okay, I'll tell them to stop," ujar Alva, memilih untuk mengalah.
"Karena gak ada yang baca, aku akan baca ini selama sarapan," ucap Riana riang. "Lumayan daripada lihat muka maling!" Raut wajahnya sontak berubah sinis saat mengatakan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guilty Pleasure [✔️]
Romance[21+] "𝘞𝘩𝘢𝘵 𝘥𝘰 𝘺𝘰𝘶 𝘸𝘢𝘯𝘵 𝘵𝘰 𝘣𝘦, 𝘮𝘺 𝘨𝘪𝘳𝘭?" Mata bulat anak perempuan berusia 5 tahun itu menatap Ayahnya dengan polos. "𝘊𝘢𝘯 𝘐 𝘣𝘦 𝘢 𝘗𝘳𝘪𝘯𝘤𝘦𝘴𝘴, 𝘋𝘢𝘥𝘥𝘺?" Sang Ayah tersenyum mendengar jawaban putrinya, "𝘠𝘰...