30. Percaya Aku

18K 677 12
                                    

"Ini," ia menunjuk perutnya.

"Anak kamu!"

Aku tercekat, spontan kutatap Galang yang terlihat pucat, sama kagetnya denganku.

"Jangan tinggalkan aku," bisiknya ketika ia melihatku hendak beranjak.

"Selesaikan masalah kalian dulu," jawabku lantas berdiri.

Ia menggenggam tanganku erat, tatapannya dalam, membuatku tak tega meninggalkannya.

Sebelah tanganku melepaskan genggaman tangannya dengan lembut, "Saya akan kembali nanti Pak," kataku sambil berusaha tersenyum.

Aku melangkah tergesa keluar dari restoran itu. Sesampai di teras resto aku berhenti, berpikir hendak ke mana aku pergi. Apakah aku harus balik ke kantor sekarang juga? Ah rasanya tak tega pergi dari Galang begitu saja. Aku ingin memastikan kondisinya baik-baik saja.

Akhirnya kuputuskan masuk ke resto di sebrang jalan, memesan segelas ekspresso, untuk menenangkan diri.

Sengaja aku ambil tempat duduk yang paling dekat dengan pintu keluar agar lebih leluasa memandang ke sebrang, mengawasi Galang tanpa ketahuan.

Galang, benarkah kamu melakukannya?

Kusesap ekspresso yang telah terhidang di hadapanku, lalu menarik napas panjang. Terselip rasa kecewa yang teramat sangat di hati ini.

Teringat ungkapan cintanya padaku sebelum Marini datang. Sungguhan kah ia? Atau hanya sekedar mempermainkanku saja?

Dia itu artis Nadia, tampan, kaya, dan terkenal. Banyak wanita cantik di sekitarnya. Mudah baginya jatuh cinta lalu mencampakkan begitu saja...

Aku tergelitik untuk membuka gawaiku, kuketikkan kalimat: Pacar Galang Arnaldo Rizki. Bermunculan banyak artikel yang berkaitan, dengan beberapa nama wanita yang berbeda. Entah benar atau hanya sekedar gosip saja. Artikel-artikel ini beberapa sudah kubaca sebelumnya. Ya dia memang pernah dekat dengan beberapa wanita, tapi tak kusangka kalau sampai sejauh ini.

Ataukah ini hanya bagian dari masa lalunya. Kulihat beberapa perubahan baik dari Galang selama aku menjadi karyawannya. Galang yang dulu selalu melewatkan waktu sholat, beberapa hari belakangan sering kudapati ia sholat di mushola kantor. Terkadang malah berjamaah dengan Pak Wira atau Pak Parlan.

Aku juga sudah tak pernah lagi melihatnya merokok atau minum minuman beralkohol selama mendampinginya urusan pekerjaan.

Ia yang sempat terkesan angkuh dan menyebalkan, mulai menunjukkan sikap yang bersahabat dan perhatian, bukan hanya padaku, tapi juga pada Rania anakku. Sejujurnya hatiku mulai tersentuh, tapi kejadian tadi membuatku merasa... ah entahlah...

Kembali aku melihat ke arah resto di sebrang, Galang belum keluar juga. Kuputuskan untuk mengeluarkan laptop, mengerjakan sedikit pekerjaan sambil menunggunya meski rasanya sungguh sulit sekali berkonsentrasi.

Hingga hampir satu jam berlalu, tapi aku belum melihat Galang keluar dari resto itu. Lama sekali mereka, kira-kira apa yang diperbincangkan? Aku mulai penasaran. Ataukah aku yang lengah tak melihat saat ia keluar? Tapi mobil yang membawa kami ke sini masih terparkir di tempat yang sama.

Ah lebih baik aku hubungi Pak Parlan.

"Halo Pak Parlan, Pak Galang belum pulang?" tanyaku di ujung telepon.

"Belum mbak, loh, emang nggak sama mbak?"

"Oh ya sudah Pak nanti saya hubungi lagi ya." Aku memutuskan sambungan telepon. Kuputusakan untuk kembali ke resto tadi melihat kondisi Galang.

Kuambil jarak aman dan kuedarkan pandangan ke dalam resto tersebt. Meja yang kami tempati tadi telah diisi orang lain. Galang ke mana?

Tiba-tiba aku melihat waitress yang tadi meminta foto bareng Galang melintas, "Mbak!" panggilku setengah berbisik. Ia menoleh.

"Eh mbak, Galang apa sudah pulang?"

"Oh mas Galang, tadi sih saya lihat dia keluar resto ini terus masuk ke sebelah."

Ia menunjuk café yang terletak persis di sebelah resto.

"Oh makasih ya mbak," kataku lalu bergegas melangkah ke café sebelah.

Aku menghembuskan napas panjang sebelum memasuki café ini. Yang kudengar café ini sering dipakai nongkrong anak-anak muda sambil minum minuman keras. Meskipun café ini juga menyediakan makanan dan minuman lain layaknya restoran secara umum seperti aneka nasi, mie, dan fast food.

Dengan membaca basmalah, aku melangkah masuk. Café ini masih sepi. Kucari-cari sosok Galang dan... ketemu. Ia sedang duduk sendiri, memegang gelas bening berukuran kecil. Nampak dua botol minuman di atas mejanya. Jangan-jangan dia...

Jangan-jangan dia apa hayooo. Maaf gabisa posting full part ya di sini. Yang mau tau kelanjutannya cuss ke KBM app (plaform gambar pena warna hijau) udah sampai part 39 dan segera tamat :)

Jangan lupa vote semua bab dengan klik tanda bintang yah. Komen yang seru dan follow author biar tambah semangat menyelesaikan cerita :)

Dijodohkan dengan Adik SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang