11. Cemburu

24.3K 1.7K 22
                                    

"Ayo!" Arman mengulangi perkataannya, memberi isyarat agar aku segera mengikutinya menuju mobil.

"Gimana tadi?" Setelah sekian lama kami hanya diam dalam mobil yang melaju, akhirnya aku memulai pembicaraan.

"Apa?"

"Di resto."

"Oh, makanannya enak," jawab Arman singkat.

"Bukan itu. Gimana tadi Viona?"

Mobil berhenti di lampu merah. Ia menoleh ke arahku. "Viona? Cantik."

Entah mengapa aku merasa ada panas yang menjalar di wajahku. Iya, Viona memang cantik. Dari dulu dia cewek idola di sekolah. Bisa jadi, kan, Arman pun mengidolakannya.

"Jadi, kamu sengaja merencanakan semua ini?" tanyanya, setelah beberapa saat lamanya kami saling terdiam.

Aku menatapnya dengan takut-takut lalu mengangguk.

"Kenapa?"

"Ini!" Aku mengulurkan selembar foto. "Kemarin terjatuh dari buku agendamu. Kukembalikan."

Arman melirik sekilas foto di tanganku. Dengan tenang ia mengambilnya, kemudian memasukkan ke dalam saku kemejaa.

"Yang di foto itu Viona, kan?"

"Kamu sudah tahu, jadi tak perlu kujawab."

"Kamu suka Viona?"

Arman hanya diam. Apa dia malu karena ketahuan menyimpan foto Viona?

"Apa yang kalian bicarakan tadi? Kamu sudah mengungkapkan perasaanmu ke Viona?" Aku bertanya dengan antusias. Ehem, pura-pura antusias tepatnya.

"Sudah." Ia menjawab dengan tenang.

Spontan aku ternganga. Jawabannya sungguh membuat hatiku gundah. Tapi, bukankah jawaban ini yang seharusnya ingin kudengar?

"Maksudku, sudah, jangan lakukan itu lagi. Aku datang tadi untuk menemuimu, bukan orang lain."

Aku berdehem kecil. Entah mengapa ada rasa lega mendengar perkataan Arman barusan. Mungkin Viona hanya bagian dari masa lalunya? Syukurlah. Ops! Mikir apa aku? Rasanya ingin kutoyor kepalaku sendiri. Bukankah ini artinya upayaku menjodohkan mereka gagal.

"Terus, kenapa tidak menghubungiku? Marah?" tanyaku.

"Jadi, kamu nunggu aku hubungi kamu?" Dengan pandangan tetap fokus ke jalan, ia tersenyum sekilas, manis, dan terlihat tulus. Tumben. Baru pertama aku melihat ia tersenyum seperti ini saat bersamaku.

"Nggak, aku cuma ..., cuma ...." Aku mencoba mencari-cari alasan agar dia tidak tahu bahwa aku menunggunya sedari tadi. Kenapa juga aku harus menunggunya? Pertanyaan itu berkecamuk dalam hati. Bukankah selama ini aku selalu kesal karena dia selalu mencampuri urusanku?

Mobil berhenti. Kami sudah sampai di rumah Mama. Aku salah tingkah ketika Arman menoleh lalu terpaku menatapku sembari menarik napas panjang. Hanya beberapa detik padahal, dan ia kembali mengalihkan pandangannya. "HP-ku lowbatt tadi, maaf ya," katanya kemudian turun dari mobil.

☕☕☕

Tak seperti biasanya, aku merasakan rumah Mama sepi. Biasanya sebelum turun dari mobil saja, Rania sudah akan teriak-teriak menyambutku "Mama sama Paman pulang, yeaay."

Apa Rania tidur? Tumben. Belum juga Maghrib. Atau mungkin asyik menonton TV sehingga tidak mendengar suara mobil pamannya?

Setibanya di depan pintu ruang tamu, aku mengucap salam dengan keras. Detik berikutnya, aku melangkah masuk ke rumah Mama.

"Rania, Rania ...." Aku memanggil-manggil nama Rania karena tidak melihatnya di ruang tengah di mana TV berada.

"Ssst jangan keras-keras, Rania tidur, badannya panas," ujar Mama saat keluar kamar.

Dijodohkan dengan Adik SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang