35. Serangan

12.1K 591 13
                                    

Aku minta pada Arman diantarkan ke kantor saja, masih siang ngga enak sama Pak Wira kalau langsung pulang.

Setiba di kantor, Pak Wira memanggilku ke ruangannya.

"Duduk Nadia," ia mempersilakan.

"Iya Pak."

"Saya mau bertanya sesuatu..." Pak WIra bicara nampak berhati-hati.

"Mengenai kamu dan Galang. APakah ada sesuatu diantara kalian?"

"Ng.. nggak Pak, hubungan kami hanya sebatas professional kerja," elakku.

"Baiklah, saya bertanya begini biar tahu bagaimana harus meghadapi wartawan. Kamu tahu sendiri kan Galang sedang di puncak karier karena sinetronnya booming, segala tindak-tanduknya menjadi sorotan. Termasuk kamu yang sering bersamanya, pasti jadi incaran media."

"Iya Pak."

"Tapi sepertinya, dia ada perasaan khusus sama kamu. Bener?"

"Dia pernah bilang begitu Pak, tapi saya nggak percaya."

"Nggak percaya gimana?"

"Ya saya anggap dia bercanda aja. Paling juga dia ngomong begitu ke bnayak perempuan. Saya rasa Pak Galang tipikal yang mudah jatuh cinta tapi mudah juga melupakan."

Pak Wira tertawa. "Kamu salah Nadia, Galang itu setia. Sama pacarnya yang dulu aja, si Marini itu, mereka lama lho, dari semenjak Galang belum seterkenal ini. Hubungan mereka berakhir karena Marini diam-diam punya hubungan spescial sama salah seorang produser kaya. Giliran Galang sudah tenar, dia merengek-rengek mau balik lagi."

AKu ber-oh dalam hati, cerita tentang Marini memang pernah aku dengar dari Galang tapi tidak sekomplit ini.

"Saya seneng-seneng aja Galang dekat sama kamu. Saya lihat ada perubahan baik dalam diri dia. Dia mulai rajin sholat, udah jarang merokok, minum-minum, hanya saja jadi bucin, hahaha," Pak Wira terkekeh.

"Galang anak baik kok, dia hanya kesepian aja. Orang tuanya berpisah saat dia SMP, ia lalu ikut Ayahnya ke Australia dan kakak perempuannya ikut ibunya. Nggak lama, Ayahnya menikah lagi. Saat lulus SMA ia memutuskan kembali ke Indonesia untuk menemani ibunya, karena kakaknya sudah menikah dan tinggal di Singapura, jadi ibunya sendirian."

Ah, jadi begitu, kemarin Galang tidak menceritakan tentang keluarganya sedetail ini. Mungkin kisah ini masih terlalu pedih baginya untuk diceritakan ke orang lain.

"Ibunya di Jakarta Pak?"

"Ibunya meninggal setahun lalu."

"Ooh..."  hatiku ikut patah mendengarnya.

"Ya sudah, yang jelas kamu harus tahu resiko dekat sama selebritis ya begini ini. Kamu harus siap, dan kuat."

"Iya Pak, tapi saya kan ngga ada apa-apa sama Pak Galang."

"Mau hubungan kalian seperti apapun, hanya sekedar teman atau hubungan atasan dan bawahan tetep aja, media lihat kamu sering bersamanya."

AKu manggut-manggut.

Pak Wira tersenyum, "Kamu boleh lanjutkan pekerjaanmu sekarang."

AKu lantas pamit dan keluar dari ruangan Pak Wira menuju ke ruang utama Café. Seperti biasa aku memotret kondisi terkini cafe juga merekam dalam bentuk video untuk kubagiakan di stories maupun feed instagram Café Mentari.

Tiba-tiba..

"Byur"

Aku merasakan ada yang mengguyur wajahku.

"Dasar janda ngga tau malu!" Marini berkacak pinggang di hadapanku, satu tangannya memegang gelas yang sudah kosong.

"Kamu pikir Galang beneran suka sama kamu ha?" ia menarik jilbabku, namun dengan cepat Fabian dibantu beberapa karyawan lain melepaskan cengkraman tangannya, dan menahan tubuhnya gar tak maju lagi menyerangku.

"Ingat ya, dia ayah dari anakku, jangan kau dekati dia lagi."

"Dasar tukang fitnah!" balasku setelah sedari tadi diam karena kaget dengan serangannya yang tiba-tiba.

Dari arah berlawanan, kulihat Pak Wira berlari menghampiri kami. Ia menarik tangan Marini, "Jangan buat masalah di sini!"

Sementara itu Fabian membimbingku masuk ke dalam ruangan karyawan.

"Saya antar pulang ya mbak," Fabian menyodorkan tisu.

"Nggak usah aku bisa pulang sendiri," jawabku sembari membersihkan sebagian wajah yang terkena guyuran es jeruk dari perempuan tukang fitnah itu.

"Jangan pulang sendiri Mbak, bahaya. Lagian Mas Galang tadi pagi titip pesan sama saya."

"Pesan apa?"

"Jagain Mbak, selama dia nggak ada."

Tak lama Pak WIra masuk. Spertinya dia sudah berhasil membuat Marini pergi dari Café ini.

"Jangan ada yang cerita dulu tentang ini ke Galang. DIa mau kembali ke Jakarta, saya takut Galang jadi tak tenang di perjalanan."

"Baik Pak," aku dan Fabian kompak menjawab.

"Nadia, beberapa hari ini kamu bisa kerja dari rumah dulu, tak usah ke kantor. Tunggu suasana benar-benar kondusif."

"Iya Pak."

"Ayo saya antar pulang," kata Pak Wira lagi. Aku menurut mengikutinya menuju mobil.

********

Pukul 18.30 di rumah notifikasi ponselku berbunyi. Ada pesan masuk. Dari Galang.

[Aku berangkat] tulisnya.

Segera kubalas.

[Hati-hati Pak, jangan lupa berdoa]

[Ya]

[Jangan lupa sholat magrib dulu]

[Udah. Kamu juga jangan lupa...]

[Jangan lupa apa Pak?]

[Jangan lupain aku ]

Eeeeaaaaaaa......

Dear reader makasih masih setia mengikuti cerita ini. Yang saya publish di sini hanya cuplikan yaa, bab lengkap bisa dibaca di KBM App, udah TAMAT di bab 43. Apakah berbayar? Yes, tapi murah kok cuma 1.500 aja per chpater. Saya juga membuka PRE ORDER novel cetaknya. Harga normal 80K, Harga PRE ORDER 69K. Yang mau order bisa DM instagram saya ya (at)rahmi.aziza. PO dibuka sampai 10 Januari 2022, yes. Makasiih jangan lupa tinggalkan komentar dan klik tanda bintang di semua bab yaaa.

Dijodohkan dengan Adik SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang