3. Selamat! Kamu Diterima!

36.9K 2.5K 34
                                    

Aku melongo, tetapi berusaha bersikap sewajar mungkin untuk menutupi rasa kagetku.

"Oh i-iya, Pak Galang, halo." Aku memaksakan diri untuk tersenyum padahal sebenarnya masih jengkel dengan kejadian tadi di taksi.

Galang membuka topi yang sedari tadi dikenakannya. Kini wajahnya terlihat sangat jelas. Ternyata tampan juga calon bosku ini. Sepintas mirip Dikta, mantan vokalis Yovie and Nuno.

"Baik, Nadia, pertanyaan pertama, kenapa kamu melamar kerja di sini?"

Pertanyaan Pak Wira yang tiba-tiba membuatku gelagapan. Pikiranku masih menerawang, bertanya-tanya apakah kejadian di taksi tadi akan memengaruhi penilaian Galang terhadapku.

"Karena butuh duit, Pak!" jawabku spontan. Aku menelan ludah. Bahkan aku kaget dengan jawabanku sendiri, bagaimana Pak Wira. Sungguh, ini bukan jawaban yang kurencanakan. Padahal aku sudah tahu pertanyaan ini pasti akan keluar dan sudah merancang jawabannya tadi di rumah.

Aku melirik ke arah Galang. Ia tampak tersenyum sinis sambil menggelengkan kepala, seolah berkata, "Matre banget, nih, orang." Namun, Pak Wira malah tertawa. "Jawaban yang menarik," ujarnya.

"Dari sekian banyak pelamar tidak ada yang menjawab sejujur kamu."

"Iyalah, Pak. Kalo saya nggak jawab begini, nanti saya nggak digaji lagi." Aku mencoba berkelakar menanggapi perkataan Pak Wira supaya perasaan gugupku hilang.

"Oke. Seandainya kamu diterima kerja di sini sebagai markom, apa yang akan kamu lakukan?"

Aku lantas mempresentasikan hal-hal yang ingin aku lakukan untuk mempromosikan Kafe Mentari. Aku juga menceritakan pengalaman kerjaku sebagai markom di sebuah hotel beberapa tahun silam. Di situlah aku bertemu dengan Mas Arya yang bekerja sebagai manager hotel. Tentu saja perihal Mas Arya ini tidak kuceritakan pada Pak Wira.

Pengalamanku sebagai micro influencer selepas resign dari hotel dan sudah bekerjasama dengan berbagai brand juga tak ketinggalan kupamerkan. Siapa tahu bisa jadi nilai tambah.

"Wah, menarik." Tanggapan Pak Wira membuatku bernapas lega.

"Kamu berpengalaman sebagai markom juga influencer sehingga bisa melihat dari kedua sisi ketika akan menjalankan tugasmu nantinya. Boleh saya tahu akun instagram kamu?" tanya Pak Wira.

"At nadia underscore putrii, dobel i, Pak," jawabku.

Pak Wira nampak mengetikkan sesuatu di ponselnya. "Oh, ini, ya." Ia menunjukkan akun instagramku yang sudah ia buka. Untung saja aku sudah mengarsipkan foto-foto bersama Mas Arya dan Rania di sana.

"Iya, betul, Pak."

"Foto-fotonya bagus, follower kamu juga cukup banyak. Follower saya ketinggalan jauh," serunya lalu tertawa lepas.

Sesaat kemudian, lelaki itu berdiri dari tempat duduknya. "Baiklah." Aku menarik napas lega karena sepertinya wawancara telah berakhir.

"Terima kasih, Nadia." Tangannya terulur menyalamiku. "Selamat, ya, kamu diterima."

"Hah?" Aku kaget, tidak menyangka secepat ini diterima. Rupanya, Galang pun menunjukkan ekspresi yang serupa tapi tak sama. Jika aku terkejut gembira, ia sebaliknya, nampak tidak setuju Pak Wira menerimaku bekerja di kafenya.

"Tunggu, Bang. Kenapa-"

"Bukannya kamu bilang aku berhak seratus persen menentukan siapa yang akan kuterima?" Pak Wira dengan cepat memotong ucapannya.

"Iya. Tapi, kan, kita harus pikirkan baik-baik. Nggak bisa secepat ini, dong."

Sialan, si Galang ini merusak kebahagiaan orang aja!

"Lang, kita tak punya banyak waktu. Minggu depan kafe ini sudah harus buka. Dari semua calon karyawan yang sudah kita wawancara tadi, aku paling sreg dengan jawaban Nadia. Jadi, mari kita coba bekerjasama dengannya." Pak Wira mencoba meyakinkan.

Galang nampak pasrah dengan keputusan Pak Wira, meski terpaksa. Aku tidak peduli. Sepertinya aku tidak akan terlalu sering bertemu dengannya. Ia pasti sibuk syuting di Jakarta dan menyerahkan urusan kafe sepenuhnya pada Pak Wira.

"Nadia, kamu akan digaji sesuai UMR dan akan mendapatkan bonus jika ada lembur atau menunjukkan kinerja yang memuaskan. Kita akan bekerja mulai hari Senin. Apakah kamu bersedia?" tanya Pak Wira.

"Bersedia, Pak!" jawabku mantap. "Saya pasti akan bekerja sebaik-baiknya, Pak Wira. Terimakasih," kataku dengan senyum mengembang sambil menganggukkan kepala, berusaha tak peduli dengan sikap Galang yang masih terlihat tak bersahabat.

"Alhamdulillah. Kamu bisa pulang sekarang. Sampai jumpa Senin depan, ya!" Pak Wira nampak lega mendengar jawabanku.

Setelahnya, aku berjalan menuju pintu dan melewati Galang.

"Mari, Pak Galang." Meski enggan, aku tetap harus berpamitan dengan sopan pada makhluk satu ini. Bagaimanapun juga, dia bosku. Kebutuhanku akan uang lebih mendesak daripada gengsiku.

Waktu sudah menunjukkan jam satu siang. Bergegas kuambil ponsel di tas untuk memesan taksi online. Sambil menunggu taksiku datang, aku mengirim pesan pada Erna, memberitau bahwa aku akan segera pulang dan menjemput Rania.

Tiba-tiba sebuah mobil menepi di depanku. Eh, apa taksiku sudah datang? Kenapa cepat sekali? Aku melihat dengan seksama mobil yang ada di hadapanku. Seketika mataku membulat dan mulutku ternganga melihat siapa yang ada di balik kemudi.

"Arman?" Nampak sosok dingin adik iparku ketika ia menurunkan kaca mobil.

"Masuk!" Ucapannya terdengar ketus.

"Aku sudah memesan taksi, kamu tidak perlu-"

"Batalkan!" Lagi-lagi ia memerintahku seenaknya. Daripada ribut di pinggir jalan, segera kubatalkan taksi yang kupesan. Nanti, setelah masuk ke dalam mobil, akan kuomeli dia.

"Apa-apaan sih? Kasihan driver yang ku-cancel tadi, tahu nggak!" protesku setelah duduk dan memasang sabuk pengaman di mobil Arman.

"Mana Rania?"

Ia malah bertanya. Ah bukan, lebih terkesan seperti menginterogasi. Sama sekali tak memedulikan omelanku rupanya.

"Kutitipkan di tempat Erna," jawabku ketus.

"Tega sekali kamu, ya. Setelah ia kehilangan ayahnya, kau buat juga dia kehilangan ibunya?"

Darahku seketika mendidih mendengar ucapan Arman. "Apa maksudmu? Ia kutitipkan karena aku harus tes wawancara kerja. Kau pikir buat apa aku kerja? Buat menghidupinya juga, kan?" kataku dengan suara tinggi.

"Aku pamannya. Paman yang harus bertanggung jawab pada ponakan yatimnya."

"Tapi mau sampai kapan, Man? Kalau kamu sudah menikah nanti, apakah istrimu tidak keberatan berbagi harta dengan orang lain? Kamu nggak mikir sampai ke situ, ya?"

"Oh, baiklah. Kalau begitu, aku tidak akan menikah."

"Apaa?"

"Aku tidak akan menikah sebelum memastikan ada orang yang bisa menjaga dan menghidupi kalian dengan baik," ucapnya penuh penekanan. Ia lantas menginjak pedal gas, melajukan mobil dengan kecepatan cukup tinggi.

Dijodohkan dengan Adik SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang