"Kalau begitu, ayo!" aku menghabiskan kopiku lalu beranjak dari tempat duduk. Tak lupa mengenakan masker untuk menutupi sebagian wajahku.
"Mau ke mana?" Galang mengenakan kacamata dan topinya
"Ke tempat seseorang yang bisa membantu kita. Bapak nggak keberatan kan kalau saya perlihatkan foto-foto itu pada kak Dito?"
"Dito... kakak kelasmu itu?"
Aku mengangguk, "Dia bisa melihat itu foto asli atau editan."
Galang menghela napas. "Baiklah," Ia menjawab dengan berat. Meski foto itu rekayasa, aku paham pasti ada perasaan tak nyaman saat foto semacam itu dilihat oleh orang lain.
"Tunggu!" katanya saat aku hendak melangkah meninggalkan meja. Aku menoleh.
Galang melepas maskerku. Aku menatapnya sambil mengerutkan kening, mau apa dia?
"Maskermu terbalik, yang biru harusnya di bagian luar." Ia membalik maskerku. Segera kurebut dari tangannya. "Sini Pak, saya bisa sendiri!"
Galang tertawa kecil, "Hanya kamu perempuan aneh yang marah jika kuperhatikan lebih."
*******
"Hei Nadia!" sapa kak Dito begitu kami sampai di studio foto miliknya. Ia sedang duduk di depan laptop, mungkin lagi memilah atau mengedit foto.
"Kak Dito, Assalamualaikum..."
"Waalaikum salam... Ada apa? Kok tiba-tiba mau ke sini? Kalian mau foto prewed ya?" candanya.
"Sembarangan!"
Kak Dito tertawa, Galang juga. "Kami nggak pakai foto prewed, nanti langsung foto akad aja."
"Hahaha siiip!"
Kesal, kuinjak kaki Galang, "Awww!"
"Canda muluk!" hardikku.
"Dia ngga suka dicandain Lang, maunya diseriusin!" imbuh Kak Dito lalu tertawa-tawa. Kak Dito memang menjadi cukup akrab sama Galang semenjak kelas sharing di sekolah beberapa waktu lalu.
"Iiih Kak!" aku melotot ke arah Kak Dito sebal.
"Hahaa.. oke-okee... maaf Nadia, bercandaa" Kak Dito berusaha meredakan tawanya.
"Sini-sini.. duduk dulu," Kak DIto menunjuk kursi di depan mejanya, mempersilakan aku dan Galang duduk.
"Kak... Kakak bisa bedain kan foto asli sama foto editan?" tanyaku setelah aku dan Galang duduk di depan Kak Dito.
Kak Dito menatapku seolah tahu ada hal serius yang terjadi.
"Insya Allah... ada apa?"
Aku menoleh pada Galang, meminta persetujuannya kembali. Ia lalu mengangguk.
"Hmm, tapi kakak janji ya, jangan sampai bocor fotonya, rahasia kita bertiga," ucapku sambil mengeluarkan ponsel.
Kubuka folder foto Galang lalu menunjukkannya pada Kak Dito, "Ini Kak!"
"Astaghfirulloh..." Kak Dito spontan intighfar begitu melihat foto-foto itu. Beberapa saat lamanya ia memperhatikan.
"Ini jelas editan. Kamu jangan kuatir Nad!"
"Lha kok aku? Bilang gitunya ke Pak Galang dong!" protesku.
"Haha.. iya.. iya.." Ia lalu beralih menatap Galang.
"Oke gini aja, aku akan bantu kalian. Sampaikan ke pengirim foto, kalian akan membawa kasus ini ke jalur hukum. Aku bersedia memberi keterangan nanti di pengadilan, kalau diperlukan."
Aku bernapas lega, nampaknya Galang juga.
"Thanks ya bro!" Galang menepuk pundak Kak Dito.
"No problemo, jangan lupa ya, pakai aku buat foto akad."
"Hahaha beres!"
"Kaak!" aku berteriak kesal.
"Kenapa sih Nad, emangnya ngomongin kamu? GR aja!" duh iya juga ya. Aku jadi malu sendiri habis Kak Dito ngomong gitu. Mana si Galang malah ketawa-tawa lagi!
"Ya udah yuk Pak balik! Ntar dicariin Pak Wira," buru-buru aku pamit, biar nggak diledekkin lagi.
"Kak kami pamit dulu, makasih ya Kak," tanpa menunggu jawaban Galang, aku langsung pamit sama Kak Dito.
"Oke, ntar kontak aja ya kalo butuh bantuan."
"Siip!" aku mengacungkan jempol dan berlalu dari ruangan Kak Dito, diikuti Galang.
"Mampir makan dulu yuk!" kata Galang begitu kami sampai di parkiran studionya Kak Dito.
"Lupa ya kalo situ juga punya café!" sindirku. Kalo mau makan tinggal suruh anak buahnya di café sendiri masakkin kan gampang.
"Kamu kalo di Café beda," ujarnya sambil terus berjalan ke arah mobil. Kali ini ia menyetir sendiri, tidak bersama Pak Parlan.
"Beda gimana?" aku melirik ke arah Galang.
"Ya beda aja, kaya menghindar, ngga mau ngobrol."
"Pak, gosip tentang kita juga mungkin udah nyampe ke anak-anak Café, saya ngga enak!"
"Biar enak. gosipnya dijadikan nyata aja gimana?"
Aku berhenti berjalan, melihatnya dengan tatapan sebal. Galang mundur selangkah, mungkin takut kuinjak lagi sepatunya.
"Becanda..." ujarnya sembari tertawa.
Mobil kantor yang dibawa Galang sudah di hadapan kami, ia memencet remote untuk membuka kunci dan dengan tangannya membukakan pintu mobil untukku.
"Nanti malam aku harus kembali ke Jakarta," ujarnya sambil memasang seat belt.
Aku terhenyak, entah... seperti terkejut mendengar perkataannya barusan. Setelah hampir dua minggu selalu bareng Galang. Nemenin dia syuting, nemenin foto session, nemenin makan, sampai jalan bareng Rania juga, ada rasa kehilangan saat ia bilang akan pulang.
"Saya temani makan Pak," kataku, akhirnya...
Ia menoleh. "Nah gitu dong!' ucapnya riang lalu menyalakan mesin mobil.
"Udah... ngga usah sedih gitu!" Galang menjentikkan jari di depan wajahku. Aku baru sadar beberapa detik tadi sempat melamun.
"Ih siapa juga yang sedih, saya cuma takut aja kalo bapak mengendarai mobil dalam keadaan lapar, nyawa saya taruhannya!"
Dear readers, cerita ini sudah TAMAT di KBM app ya. Hanya sampai chapter 43 kok, jadi kalo mau buka gemboknya juga ga terlalu mahal :) Di wattpad mulai bab 11 saya hanya posting cuplikan. Mohon maaf ya.
Jangan lupa follow, klik tanda bintang (vote) di semua bab dan kasih komen yang seru yaa, biar othor tambah semangat postingnya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dijodohkan dengan Adik Suamiku
RomanceDIJODOHKAN DENGAN ADIK SUAMIKU "Nadia, Arman, bagaimana kalau kalian menikah?" pinta ibu mertuaku penuh harap, tepat di hari masa iddahku usai. Menikah dengan Arman? Adik suamiku yang dingin itu? Bahkan setelah empat tahun kami hidup seatap di...