Hanya cuplikan saja yaaa. Part komplit baca di KBM App cari judul: DIJODOHKAN DENGAN ADIK SUAMIKU atau di KaryaKarsa bisa tanpa download aplikasi, judul: BILA JODOH (https://karyakarsa.com/rahmi.aziza/)
Hari Sabtu pagi, Galang ikut aku ke SMA. Rania kuajak serta. Saat tempo hari kutanya tentang jadwalnya balik ke Jakarta ia hanya menjawab, "Gampang, bisa diatur."
"Sharing sama anak-anak SMA sepertinya menarik," ujarnya lagi.
"Tapi kami ngga bisa bayar lho Pak," kataku bercanda sekaligus berjaga-jaga, kalo beneran selesai acara dia minta bayaran. Biasanya artis diundang ke suatu acara ada bayarannya kan. Bisa berabe kita.
"Dibayar dengan cinta juga bisa," sahutnya bikin aku melotot.
"Awww!" ia berteriak kesakitan saat aku menginjak kaki berbalut sepatu mahalnya dengan keras.
****
Kedatangan Galang ke sekolah tentu saja membuat kehebohan. Cewek-cewek alumni yang datang untuk mengisi sharing profesi langsung mengerubuti Galang minta foto bareng. Galang meladeni mereka dengan tampang yang tampak disabar-sabarkan. Sesekali ia melirik ke arahku seperti minta bantuan agar dijauhkan dari kerumunan cewek-cewek itu. Aku hanya mengedikkan bahu sambil tersenyum mengejek. Rasain! Siapa suruh mau ikutan acara kaya gini, ejekku dalam hati.
"Yuk, temen-temen... udah mau mulai acaranya nih!" ujarku setengah berteriak membubarkan kerumunan fans Galang.
Galang menarik napas lega ketika para wanita tadi membubarkan diri dan kini ia berdiri tepat di sampingku, "Fiuuh."
"Biar saya belikan dulu air mineral di kantin Pak," kasihan juga melihatnya kelelahan dikerumuni fans sampai berkeringat begtu.
"Kenapa tidak itu saja?" ia melirik botol minum yang kupegang.
"Udah saya minum tadi. Masa bapak minum bekas saya?"
Ia merebut botol minumku dan langsung meneguk isinya. "Gapapa ciuman ngga langsung," ujarnya sambil mengerling jahil.
"Aaaak!" ia menjerit tertahan. "Sekali lagi menginjak kakiku, kujadikan istri kau!" bentaknya kesal lalu mengusap sepatunya yang kotor dengan tisu.
"Makanya jangan ngomong yang aneh-aneh. Jijay tau ngga sih!" kataku sewot.
Aku duduk bersama Rania memperhatikan Galang dari sudut aula ketika ia tampil mengisi acara sharing profesi. Tiba-tiba kulihat Aldo, teman ekskul basket Arman melintas.
"Hai Aldo!" sapaku.
"Eh Nadia," ia menghentikan langkahnya saat tiba di depanku.
"Arman ngga dateng?" tanyaku. Entah, ngga ada dia kok seperti ada yang kurang.
"Baru aku mau nanya itu ke kamu. Dia kan ngga ikut WA alumni, kirain datang sama kamu."
"Oh.. gitu, nggak, nggak sama aku," jawabku sambil tersenyum dan terbersit kecewa, sedikit.
"Mau aku hubungi dia suruh ke sini?" tanyanya.
"Eh ngga usah, ngga usah!" cegahku.
"Kenapa kalian? Berantem ya?" tebaknya lalu tersenyum geli.
"Nggak, cuma beberapa hari ini sama-sama sibuk aja, jadi ngga sempet ketemu," elakku.
"Oh yaudah, aku ke sana dulu ya," pamitnya.
"Okee, daah," jawabku sambil melambaikan tangan.
"Mama... eskimmm," tiba-tiba Rania merengek minta dibelikan eskrim. Dia mungkin bosan sudah terlalu lama berada di sini, ngga ada anak kecil sebayanya pula yang bisa diajak bermain.
"Yuk kita ke kantin," aku menggandeng Rania ke luar aula dan menuju kantin.
Kantin merupakan salah satu tempat bersejarah bagiku di sekolahan ini. Bukan hanya karena aku suka nongkrong di sana bersama teman-teman. Tapi karena tiap hari aku pasti menitipkan kue buatan Ibu untuk dijual di sana. Dari penjualan kue itulah aku bisa dapat tambahan uang untuk membeli buku atau jajan sesekali.
"Mbak Narti!" sapaku pada seorang wanita tengah baya yang tengah sibuk menata dagangan di kantin.
"Eh sopo yo koyo kenal," jawabnya dengan bahasa Jawa kental sambil keningnya berkerut sepertinya mencoba mengingat-ingat, siapa aku.
"Nadia mbak, yang dulu suka nitip kue di sini," kataku.
"Oalah iya, iya Nadia, inget aku. Nadia wartawan sekolah to?"
"Iya mbak. Apa kabar Mbak Narti?"
"Alhamdulillah baik, lho ini anakmu Nadia?" tanyanya saat melihat Rania.
"Iya Mbak."
"Waah sudah besar, ayu, mirip ibunya," puji mbak Narti yang kutangapi dengan senyuman.
"Papanya?"
"Sudah ngga ada mbak, empat bulan lalu meninggal, kecelakaan," jawabku.
"Oalah, yang sabar ya," Mbak Narti menepuk-nepuk pundakku.
"Papanya, anak sekolahan sini juga?"
"Bukan mbak, sekolah lain."
"Oalah. Tak pikir kamu jadi sama anak basket itu. Siapa ya namanya, Ar.. Ar.." ia mengingat-ingat.
"Oh iyo Arman!"
"Arman mbak?" aku mengulangi nama yang disebut Mbak Narti. Merasa heran mengapa tiba-tiba Mbak Narti menyebut Arman.
Kira-kira kenapa yaaa? Spoilernya cukup apa lanjuut? Jangan lupa vote smeua bab dan komen yang rameee. Yang mau part lengkap ke KBM App ya shay...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dijodohkan dengan Adik Suamiku
RomansaDIJODOHKAN DENGAN ADIK SUAMIKU "Nadia, Arman, bagaimana kalau kalian menikah?" pinta ibu mertuaku penuh harap, tepat di hari masa iddahku usai. Menikah dengan Arman? Adik suamiku yang dingin itu? Bahkan setelah empat tahun kami hidup seatap di...