33. Jujur

12.4K 631 3
                                    

Terimakasih masih terus mengikuti cerita ini. Hanya sebagian part yang saya publish di sini. Baca selengkapnya di KBM app sudah TAMAT di chapter 43.

Aku sudah lebih dulu tiba di café tempat kami janjian. Dua cangkir kopi sudah lebih dulu kupesan dan terhidang. Ekspresso buat Galang dan Latte untukku.

Tak menunggu lama kulihat seseorang menggunakan kaca mata hitam dan bertopi masuk. Aku memang lebih dulu berpesan padanya untuk berpenampilan seperti itu agar tak dikenali orang-orang.

Aku melambaikan tangan padanya, siapa tahu dia tak mengenaliku karena aku sengaja menutup wajahku dengan masker.

"Kenapa pakai masker?" tanyanya sambil menarik kursi lalu duduk di depanku.

"Biar aman dari paparazzi," bisikku.

"Aku jadi tak bisa melihat wajah cantikmu!"

Kutendang kakinya di bawah meja, "Bapak! Saat seperti ini sempat-sempatnya bercanda!"

"Siapa yang bercanda? Serius kok, kamu cantik!" Ish dia belum berubah rupanya, masih tetep gombal!

Aku menarik napas panjang. "Pak... plis deh! Saya ngga suka laki-laki gombal!"

Dia tertawa, melepas kaca mata hitamnya, menatapku lekat, "Kupikir tak akan bisa lihat kamu ngomel seperti ini lagi."

"Kenapa?"

"Kamu ngga marah?" ia balik bertanya.

"Marah!" kataku ketus.

"Kamu lebih percaya Marini daripada aku?"

"Soal itu, saya ngga berhak marah Pak!"

"Aku ingin kamu menjadi orang yang berhak!"

"Maksud Bapak?"

"Ngga tau atau pura-pura ngga tau?"

"Minum Pak, keburu dingin!" kudekatkan secangkir ekspresso yang sudah kupesan semenjak Galang belum tiba tadi.

"Mengalihkan pembicaraan lagi kan," ia mendesah lalu membuang muka sejenak.

"Kamu ternyata tahu minuman yang kusuka," ucap Galang setelah meneguk kopinya.

"Bapak selalu pesan itu setiap kita makan di luar."

"Perhatian sekali. Aku jadi GR!"

"Ngga usah GR, saya asisten bapak, jadi saya harus tau apa yang bapak suka dan tidak suka."

"Hmmm jadi kamu tahu kalau aku suka kamu?"

"Bukan saatnya bicara tentang itu," jawabku ketus.

"Bapak udah janji ngga akan minum-minum lagi, kenapa kemarin bapak melakukannya?"

"Katakan, apa aku menyakitimu saat... mabuk kemarin," ia menatapku serius.

"Hampir!" jawabanku sepertinya membuat ia cukup terkejut.

"Bapak mencengkram tangan saya kuat sekali, saya takut, tapi tidak tega mau meninggalkan Bapak sendiri. Untung Pak Parlan dan Pak Wira segera datang."

"Astaga..." ia menarik napas panjang, membanting tubuhnya ke sandaran kursi sambil menutup muka dengan tangannya.

"Biar kulihat!" ia mengulurkan tangan ke arahku.

Aku menarik tanganku, menyembunyikan di balik meja. "Tidak usah Pak. Bapak cukup berjanji, benar-benar berjanji, jangan minum lagi. Ada saya maupun tidak ada saya. Bisa?"

Lagi-lagi ia menarik napas panjang, "Aku sedang frustasi saat itu."

"Pak,seorang muslim, jika frustasi datangnya pada Allah, bukan pada alkohol. Alkohol bisa membuat Bapak lupa akan masalah bapak, tapi hanya sekedar lupa, sebentar, dan tidak menyelesaikannya. Malah menimbulkan masalah baru."

Ia diam saja, kepalanya tertunduk, ditopang kedua tangannya di atas meja.

"Bukannya kepo ya Pak, tapi bolehkah saya tahu, apakah benar apa yang dikatakan Marini?" tanyaku hati-hati dan berusaha tenang tanpa menujukkan emosi sedikitpun.

"Nadia, aku memang bukan orang baik," ia mengangkat kepala, menatapku.

"Aku merokok, minum, pacaran, tapi aku juga bukan orang yang tega merusak orang lain.

Apalagi perempuan. Aku lahir dari rahim seorang perempuan, akupun punya kakak perempuan. Aku akan marah jika terjadi sesuatu pada mereka."

Aku tersenyum, "Saya percaya Pak, saya percaya sama Bapak."

Lalu mengeluarkan ponselku, membuka foto-fotonya bersama Marini yang kuterima di email kantor.

"Jadi saya yakin foto-foto ini juga salah," sambungku sambil menunjukkan layar ponselku padanya.

"Astaga!" ia nampak terkejut, mencermati foto-foto itu dengan serius.

"Darimana kau dapat foto-foto ini?" tanyanya sambil menatapku.

"Seseorang mengirimkannya ke email kantor Pak," ia terdiam lalu kembali tertunduk lesu.

"Marini bilang, saat itu aku sedang mabuk, lalu terjadilah..." ia tak melanjutkan kata-katanya.

Aku menghela napas, "Lagi-lagi karena alkohol kan Pak?"

"Bapak pernah dengar sebuah cerita, seorang pemuda sholeh, dijebak di sebuah kamar bersama wanita nakal. Si wanita menyuruhnya memilih, berzina dengannya, membunuh bayi atau meminum miras, jika tidak ia akan berteriak dan memfitnah si pemuda yang masuk ke rumahnya. Akhirnya si pemuda memilih miras karena ia menganggap lebih ringan dibanding membunuh dan berzina. Tapi setelah ia minum miras dan mabuk, akhirnya ia juga berzina dan membunuh bayi.."

"Jadi seharusnya, apa yang ia pilih?" Galang menatapku nampak penasaran.

"Hikmah dari cerita ini, bukan tentang apa yang seharusnya dipilih Pak. Ketiga hal itu sama-sama dosa, semoga kita terjauh daripadanya. Tapi cerita ini memperingatkan kita sebegitu berbahayanya minuman keras."

Ia manggut-manggut.

"Pak, apakah mungkin bapak melakukannya saat mabuk, dan bapak lupa?" tanyaku hati-hati.

"Tidak Nadia. Aku yakin. Jadi pada saat hari kejadian yang ia ceritakan itu, kami beramai-ramai di rumahnya. Bukan hanya aku. Lagipula di foto ini..." ia menunjukkan salah satu foto yang ada di ponselku. Ada salah satu foto mesranya dengan Marini yang masih mengenakan pakaian lengkap. Sementara dua foto lainnya, badan mereka tertutup selimut.

"Bukan bajuku. Aku tak punya pakaian seperti ini!"

Sedari tadi ia bercerita aku terus memperhatikan sorot matanya dan aku merasa ia berkata jujur. Aku percaya padanya.

"Kalau begitu, ayo!" aku menghabiskan kopiku lalu beranjak dari tempat duduk.

"Mau ke mana?"

"Ke tempat seseorang yang bisa membantu kita."

Alhamdulillah cerita ini sudah TAMAT di KBM app. Yang kepo gimana perjalanan kisah cinta Galang, Nadia, Arman merapat yak. Jangan lupa follow author dan vote semua bab. Lebih sennag lagi kalau pada meramaikan dengan komentar.

Dijodohkan dengan Adik SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang