"JANGAN KE SINI!" tegasku.
"Ya sudah biar kurir yang ke sana," Galang mengalah.
Aku bernapas lega. Akhirnya dia nurut juga.
"Kirim alamat ya. Saya panggil kurir sekarang."
"Oke Pak."
Setelah mengirimkan alamat rumah pada Galang, cepat-cepat aku menyambar jilbab yang tergantung di belakang pintu kamar. Dengan mengendap-endap, aku berjalan keluar kamar.
Ngga ada Mama, mungkin sedang di kamar. Sukurlah. Pelan-pelan kubuka pintu depan dan keluar rumah.
Tak lama setelah aku sampai di depan pagar rumah, ada kurir dengan jaket dan helm berawarna dominasi hijau menghentikan motornya. Ah itu pasti kurirnya, tebakku dalam hati.
"Anter barang ya Pak?" tanyaku tanpa basa-basi sambil membuka pagar.
Pak kurir membuka kaca helmnya, "Kalo nganterin cinta diterima nggak neng?"
Aku tersentak kaget, "Bapak!"
Ternyata Galang. Kurir itu si Galang! Ya ampuun... Bisa-bisanya dia....
"Bapak ngapain sih?" Aku gelisah menoleh kanan kiri takut ada yang melihat.
Sementara Galang hanya nyengir, "Sesuai permintaanmu, kurir yang antar kan!" tangan kanannya menyodorkan sebuah kantongan kertas.
Cepat-cepat kusambar kantongan itu dan memerintahnya pergi, "Udah, balik sana Pak!"
"Heh saya itu bos kamu, ngga sopan, ngusir-ngusir!" amuknya.
"Itu kan kalo di kantor, di sini beda!" kataku lalu membalikkan badan.
"Tunggu-tunggu... ada yang ketinggalan," sergahnya membuatku urung masuk ke dalam rumah.
"Duhh apalagi sih?" aku takut kalau tiba-tiba Mama atau Arman keluar.
Galang memasukan tangan kanannya ke dalam jaket, seperti hendak mengambil sesuatu dalam kantong jaketnya. Lalu tiba-tiba ia mengeluarkan dua jari membentuk finger heart layaknya adegan norak yang sering kutonton di drama Korea. Aigooo...
"Bapak!" bentakku dengan suara tertahan, takut terdengar orang-orang. "Alay banget ih! Cepetan balik Pak!" kataku sambil mendorong punggungnya, memaksanya pergi.
"Iya.. iya balik, galak amat!" ia pun menstater motornya. Oh bukan, motor tukang ojek online yang dibajaknya.
Aku masuk ke dalam rumah. Kuintip kantongan kertas pemberian Galang tadi. Ternyata isinya cokelat, biskuit, susu dan agar-agar, jajanan favorit Rania dan mungkin semua anak-anak di dunia ini. Kusimpan bingkisan itu dalam kamar.
Tiba-tiba terbersit keinginan melihat keadaan Rania. Aku berjalan menuju kamar Arman. Kulihat pintu kamarnya terbuka. Aku mengintip, tidak ada Arman di sana. Kuberanikan diri untuk masuk. Duduk di pinggiran tempat tidur lalu meletakkan punggung tanganku di kening Rania. Alhamdulillah suhu tubuhnya sudah tidak sepanas tadi, hanya masih sedikit hangat. Arman bisa juga merawatnya dengan baik.
"Papa... papa...." Rania mengigau dalam tidurnya.
Ya Allah... dia pasti sangat merindukan Papanya sampai terbawa mimpi. Aku berbaring miring di samping Rania, mengusap-usap keningnya sambil berbisik, "Rania, ini Mama nak.."
Rania terdiam tampak pulas kembali. Setelah itu, rasa kantuk luar biasa menyergapku. Sambil mengusap kepala Rania, lama-kelamaan tanpa sadar aku ikut tertidur.
Entah aku tertidur berapa lama, saat pelan-pelan membuka mata, kulihat sesosok lelaki di samping tempat tidur mengenakan sarung dan baju koko, duduk di atas sajadah menengadahkan tangan.
"Mas Arya!" aku terlonjak.
Cerita yang di up di sini hanya cuplikan ya. Kalau mau part lengkap bisa dibaca di KBM app sudah sampai bab 29. Terimakasih sudah nunggu dan terus mengikuti cerita ini. Maaf saya lama nggak update di sini, karena laptop agak-agak lemot. Yang pada masih mau baca cuplikan cerita di sini komen dooong...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dijodohkan dengan Adik Suamiku
RomanceDIJODOHKAN DENGAN ADIK SUAMIKU "Nadia, Arman, bagaimana kalau kalian menikah?" pinta ibu mertuaku penuh harap, tepat di hari masa iddahku usai. Menikah dengan Arman? Adik suamiku yang dingin itu? Bahkan setelah empat tahun kami hidup seatap di...