Hari Senin, hari pertamaku masuk kerja. Grogi. Ini momen pertamaku bekerja lagi setelah tiga tahun lamanya tidak menyandang status sebagai pekerja kantoran. Selain itu, juga karena harus bertemu lagi dengan Galang setelah pertemuan tanpa sengaja tempo hari di acara reuni. Aku sibuk menerka apa yang akan dikatakan Galang nanti dan mulai khawatir dia menganggapku telah melakukan penipuan.
"Biar kutemani sampai ke dalam," kata Arman sesampainya kami di Kafe Mentari.
Mungkin ia melihat kegugupan pada ekspresi wajahku. Dalam perjalanan pulang dari acara reuni kemarin, aku menceritakan semuanya. Perihal aku yang menggunakan kartu identitas lamaku untuk melamar kerja. Mau bagaimana lagi, ia sudah terlanjur melihat Galang bicara padaku dengan nada marah.
"Jangan! Kau pikir aku anak kecil harus dianter masuk segala," cegahku.
"Kalau bosmu marah, keluar saja. Nanti akan kubantu mencari pekerjaan yang cocok buatmu."
"Heem." Hanya itu jawabku.
"Bahkan seharusnya kamu tidak perlu bekerja. Aku bisa menghidupimu dan Rania," katanya lagi, lirih. Dia tahu aku paling tidak suka jika mulai membahas hal ini.
Tanpa memberi tanggapan apapun, aku segera turun dari mobil. "Terimakasih tumpangannya."
"Tunggu!" tangannya terulur ketika aku hendak menutup pintu.
"Apa lagi, sih?"
"Pulang jam berapa? Kujemput."
"Nggak usah Man, kau pikir aku tidak bisa pulang sendiri. Kau juga pasti banyak urusan pekerjaan, kan?"
"Bisa diatur," ujarnya. Di kantor konsultan arsitek tempatnya bekerja, Arman memegang posisi sebagai manajer, setelah manajernya yang lama ditarik ke kantor pusat Jakarta enam bulan lalu. Pekerjaan sehari-harinya lebih banyak di luar kantor, bertemu klien dan meninjau proyek, sehingga ia tak terikat jam kantor yang kaku.
"Jam lima kujemput!" putusnya semena-mena. "Kalau kamu pulang lebih cepat, kabari saja."
Aku menutup pintu mobil agak keras. Kesal, karena dia tidak pernah mendengarkan perkataanku dan selalu saja memutuskan hal yang berkaitan denganku secara sepihak tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu.
Sambil merapal doa dalam hati, aku melangkah masuk dalam kafe. Apa yang akan terjadi hari ini, aku sudah menyiapkan diri. Mungkin aku akan dimarahi atau bahkan penerimaanku sebagai karyawan dibatalkan. Pasrah.
"Bang, dia udah nipu kita!" Di depan pintu ruangan Pak Wira, aku mendengar Galang bicara dengan nada kesal, membuatku menimbang-nimbang akan tetap menguping pembicaraan mereka sampai selesai atau mengetuk pintu.
Namun, akhirnya kuputuskan untuk mengetuk pintu. Kalau ketahuan aku menguping pasti akan jadi masalah lagi. Apalagi sekarang juga sudah jam masuk kantor. Jangan sampai karena telat menghadap, penilainan mereka terhadapku semakin buruk.
"Ya, masuk!" Suara Pak Wira terdengar dari dalam.
Aku membuka pintu perlahan. "Selamat pagi Pak Wira, Pak Galang."
"Oh, Nadia, mari masuk dan silakan duduk." Pak Wira menyambutku dengan ramah. Sementara Galang memandangku dengan tatapan khasnya yang sinis.
"Sekarang apa penjelasanmu?" tanya Galang tanpa basa-basi setelah aku duduk di kursi depan meja Pak Wira.
"Maaf, Pak, bukannya saya mau menipu. Saya nggak bohong, kok. Status saya memang belum menikah. Saya ...."
"Oh, masih mengelak? Lalu, kemarin anak yang memanggil kamu mama?" Galang memotong pembicaranku dengan sura tinggi.
"Galang, biarkan dia selesai bicara!" tegur Pak Wira.
Galang diam. Meski Pak Wira bekerja untuknya, sepertinya ia punya rasa segan terhadap Pak Wira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dijodohkan dengan Adik Suamiku
RomansaDIJODOHKAN DENGAN ADIK SUAMIKU "Nadia, Arman, bagaimana kalau kalian menikah?" pinta ibu mertuaku penuh harap, tepat di hari masa iddahku usai. Menikah dengan Arman? Adik suamiku yang dingin itu? Bahkan setelah empat tahun kami hidup seatap di...