Rania sakit. Aku menjemputnya ke sekolah.
"Sini biar Rania kubawa," kata Arman ketika aku turun dari mobil sesampai kami di rumah Mama.
Saat Arman hendak mengambil Rania dari gendonganku, tanpa sengaja tangan kami bersentuhan.
"Kamu panas," katanya.
Spontan ia menyentuh kening dan pipiku, membuatku sedikit terkejut. "Iya kamu panas."
"Hmm Maaf.." cepat-cepat ia menurunkan tangannya.
"Kau istirahatlah, Rania biar aku yang urus," katanya lagi seraya membawa Rania masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikum salam. Ehh cucu oma sudah pulang sekolah," Mama mengalihkan perhatiannya dari TV saat Arman mengucapkan salam.
"Kenapa?" tanya Mama melihat Rania yang lemas di gendongan Arman.
"Rania demam Ma," sahut Arman.
"Walahh, yaudah bawa ke kamar aja."
"Biar di kamar Arman saja Ma, Nadia juga agak demam, biar dia istirahat."
"Lho Nadia sakit juga, to!" Mama menempelkan tangannya di keningku, "Yaudah istirahat sana, Mama carikan obat turun panas ya."
Tak lama setelah aku berbaring, Mama datang membawa obat dan segelas air putih ke kamarku, "Minum obat dulu Nad."
"Makasih Ma..." segera aku minum obat yang diberikan Mama. Sungguh aku merasa bersyukur punya Mama. Meski Mas Arya telah tiada, rasa sayangnya padaku masih tetap sama seperti saat aku jadi menantunya.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Tok tok tok.
"Ini kompresnya pakai air es ya?" tanya Arman dari balik pintu.
"Jangan, pakai air yang hangat," jawabku.
"Kompresnya bukan di kening ya, di ketiak atau di lipatan paha," kataku lagi. Merasa tidak yakin Arman bisa merawat Rania dengan benar akupun beranjak dari tempat tidur.
"Jangan," cegah Mama.
"Biar Arman saja, dia lagi belajar jadi Ayah siaga," Mama terkekeh.
"Arman sampai ijin ngga balik kantor lho demi merawat Rania," kata Mama lagi. Aku hanya tersenyum. Bisa nebak ke mana arah pembicaraan Mama.
"Apa kamu belum bisa menerima Arman, Nad?"
Tuh bener kan?
"Menerima gimana Ma? Arman itu kan pamannya Rania wajarlah kalau dia kuatir saat Rania sakit."
"Dia itu ngga cuma kuatir sama Rania, tapi sama kamu juga. Masa kamu ngga ngerasa sih!"
"Ma, waktu Papa meninggal dulu, Mama ngga nikah lagi kan?" Mama mengangguk.
"Nadia juga ingin seperti itu, selamanya setia pada Mas Arya," kataku.
"Situasinya beda. Saat itu anak-anak Mama sudah besar. Arman sudah hampir lulus SMA, Arya sudah bekerja. Menjadi janda muda itu berat lho Nad, banyak fitnahnya."
Aku terdiam, kalimat Mama yang terakhir memang ada benarnya. Beberapa kali aku mendengar prasangka buruk orang-orang terhadap janda muda. Bahkan aku sendiri juga pernah tanpa sengaja mendengar beberapa orang membicarakanku, tentang statusku sebagai janda muda.
"Tapi Ma, Arman itu adiknya Mas Arya..."
Terimakasih buat yang sudah setia membaca cerita ini. Semoga berkenan follow author, memberikan vote di semua bab, dan meninggalkan komentar, biar author tahu bahwa ada yang baca. Di platform ijo, cerbung ini udah sampai bab 25 lho!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dijodohkan dengan Adik Suamiku
RomanceDIJODOHKAN DENGAN ADIK SUAMIKU "Nadia, Arman, bagaimana kalau kalian menikah?" pinta ibu mertuaku penuh harap, tepat di hari masa iddahku usai. Menikah dengan Arman? Adik suamiku yang dingin itu? Bahkan setelah empat tahun kami hidup seatap di...