Sudah 1 minggu putus dari adit, rasanya hidup rara hampa, kosong, ada yang hilang pada dirinya. Hidup jadi kembali membosankan dan menjenuhkan tanpa tau kabar adit, entah sedang apa adit, apa adit merindukan rara seperti rara merindukan- nya? "Argh... Mungkin gue belum terbiasa, gue yakin lama kelamaan gue akan terbiasa dengan hal seperti ini, sama seperti dulu waktu gue putus sama zaki, awalnya memang berat tapi lama-lama gue juga bisa lewatin semua" gerutu rara dengan tangan yang sibuk mencoret coret kertas kosong dari dalam bindernya.
"Aurora maju, jawab pertanyaan yang ada di white board" suruh pak moris meminta rara agar maju ke depan.
"Heh?!" Rara bingung dengan senyum kikuk, apa yang harus dia tuliskan ke white board sedangkan sejak tadi dia tidak menyimak dengan benar.
Ecy yang menangkap pemandangan tersebut, buru buru memberikan jawaban yang sudah dia tulis di catatan miliknya. Kemudian memberikannya pada rara. Rara menarik segaris senyum lalu melangkah ke depan menjawab pertanyaan dari pak moris.
"Makasih ci" ucap rara ketika sudah kembali ke kursinya.
"Stop melamun terus" bisik ecy
"Iya, maaf" cicit rara sudah memutar kembali pandangannya memperhatikan penjelasan dari pak moris.
Jam kuliah selesai ketika hari sudah mulai sore, akhirnya rara bisa bernafas lega sembari merentangkan kedua tangannya untuk meregangkan tubuhnya yang terasa pegal.
"Pinjem catatan lo" pinta faiz ketika sudah keluar dari kelas.
"Pinjem punya ecy aja, punya gue gak begitu lengkap" jawab rara
"Gpp" faiz menengadahkan tangan kanannya.
"Nih ambil sendiri, sekalian pegangin tas gue bentar, gue kebelet" ucap rara memberikan tasnya pada faiz kemudian berlari menuju toilet.
"Lah pada kemana?" Rara melihat faiz dan yang lain sudah tidak ada di tempat semula kemudian melangkah pelan berjalan keluar kampus, ternyata mereka sudah berdiri di luar kampus.
"Adit" bisik ecy ketika rara mendekatinya dengan jari menunjuk ke arah adit yang berdiri berseberangan dengan mereka.
Rara memutar matanya melihat ke arah yang di maksud ecy, adit berdiri di samping mobilnya dengan sebuah senyum teduh. Membuat rara kaget sekaligus cemas dengan perasaannya saat ini, bagaimana jika dia tidak bisa mengendalikan perasaannya dengan baik saat ini ketika berbicara dengan adit. Apa yang harus dia lakukan? "Please mikir ra, mikir" umpat rara, hanya ada satu cara yang ada di kepalanya saat ini "Sakiti hati adit agar adit membencinya" hanya itu yang terlintas di kepala rara saat ini.
Rara berjalan menuju adit yang sudah melambaikan tangan padanya dengan langkah pelan dan otak yang tak berhenti mencari cara untuk menyakiti perasaan adit.
"Hei, apa kabar?" Tanya adit sudah ingin merangkul rara
Tapi rara menolak dan menjaga jarak dari adit, sedikit menjauh dari adit "mau apa? Gue gak ada waktu" ucap rara dengan pandangan ke arah berbeda tanpa ingin melihat wajah adit, sebab rara yakin jika dia melihat wajah adit, dia tidak akan bisa mengontrol perasaannya yang sudah di penuhi dengan rasa rindunya pada adit.
"Mau jemput kamu lah" jawab adit santai dengan lengkungan senyum di wajahnya.
"Kita udah selesai, lo belum jelas? Atau harus gue jelasin lagi disini?!" Rara mencoba berbicara dengan ketus, ada rasa sakit yang begitu hebat dari dalam dirinya ketika harus mengatakan semua ini secara langsung, padahal susah payah dia mencari cara untuk memutuskan adit melalui pesan tapi malah harus mengatakannya lagi secara langsung.
"Kamu serius?" Tanya adit sudah meraih tangan rara
"Hemm..." Rara bergumam dengan wajah tertunduk
"Gue buru-buru, sudah di tunggu pacar gue" tambah rara lalu melepaskan tangan adit
KAMU SEDANG MEMBACA
HANYA INGIN KAU TAHU
أدب المراهقينIni kisah kelanjutan Aurora Kinandra dan Aditya Chandra Bagaskara (Satu Nama Sebuah Cerita). Disini di ceritakan kehidupan Rara dan Adit ketika mereka berada di masa kuliah dan harus menjalani LDR selama Adit berkuliah di kota lain. Tidak ada hubun...