Berdamai dengan keadaan itu sulit. Tapi menerima keadaan dengan lapang dada jauh lebih sulit.
Memang benar lidah mudah berkata tidak apa-apa, tapi kata hati siapa yang bisa menerka. Terlalu jauh dan terlalu tabu untuk diterjemahkan.
Justru kadang kala suara yang lidah hasilkan bertolak belakang dengan apa yang hati inginkan. Sehingga tau-tau rasa tak rela itu masih menjerat hati dengan erat.
Hari-hari sudah berlalu dengan begitu cepatnya membuat Nathan mulai terbiasa memasang topeng seolah tak apa-apa meski jauh dalam lubuk hati merasa was-was.
Agaknya waktu yang berjalan terlalu cepat ini membuat Nathan merasa kuwalahan. Hingga tanpa disadari kakaknya pelan-pelan terasa semakin jauh.
Sudah hampir dua bulan berlalu sejak Nathan tau Jeff memilih melanjutkan studi ke luar negeri. Tapi selama itu alih-alih lebih sering bersama mereka malah menciptakan jarak.
Jeff yang sibuk ujian dan les ini itu membuat keduanya tak punya banyak waktu. Bahkan untuk sekedar makan malam bersama pun sudah jarang.
Kalau ditanya sedih atau tidak, Nathan akan dengan lantang mengatakan bahwa dia sedih sekali. Kakaknya belum pergi masih bisa dia tangkap oleh mata tapi rasanya sudah serindu ini.
Namun Nathan kini sudah belajar satu hal bahwa terkadang menyimpan sesuatu untuk diri sendiri itu ada baiknya. Dia tidak perlu repot-repot menunjukkan apa yang hatinya inginkan lagi sekarang. Karena seperti yang Jeff bilang tak semua inginnya dapat diwujudkan.
Nathan sudah belajar.
Namun daripada menjadi lapang hatinya terasa sesak sendiri. Menyimpan semua perasaannya sendiri ternyata bisa sesakit ini. Nathan tak pernah tau itu.
Bertemankan Jeje sore itu Nathan habiskan waktu merenung duduk pada bangku panjang di halaman belakang. Tatapannya terkunci pada lapangan basket yang biasanya digunakan Jeff olahraga setiap sore. Dulu.
Lagi-lagi Nathan tersenyum kecut. Rasa-rasanya dia ingin mengenang setiap jengkal jejak yang Jeff tinggalkan.
Ayolah dia merasa sangat berlebihan sekarang. Begitu emosional. Begitu kekanakan. Begitu menyedihkan.
Dia menunduk menatap pada kakinya yang berbalut sendal kulit coklat dan mendongak saat Jeje memberontak membuatnya melepaskan ikatan pada leher Jeje dan membiarkannya berlari ke arah lapangan mengejar bola basket yang sedari tadi hanya diam.
Sekarang rasanya semakin menyedihkan saat Jeje bahkan tak terdistraksi oleh dirinya yang menginginkan perhatian.
Dia mencebik dengan tangan menyangga dagu dia terus memperhatikan Jeje yang berlari kesana-kemari mengejar bola yang dia buat pergi sendiri.
Rasanya Nathan ingin jadi Jeje saja. Tidak ada masalah, tidak perlu berpikir, tidak perlu sekolah, hanya menggonggong dan tidur siang.
"Hah"
Menghela nafas Nathan tersentak saat seseorang mengusap kepalanya. Dia mendongak menemukan Papa dengan balutan kemeja dengan dasi yang sudah melonggar.
"Sendiri aja dek??"
Nathan menggeleng.
"Sama Jeje kok"
Papa mendengus kemudian turut duduk di sebelah Nathan. Tangannya meraih tangan Nathan dan menepuk-nepuknya pelan.
"Akhir-akhir ini rumah aneh ya dek"
Nathan menoleh menatap Papa yang menatap lurus ke depan.
"Rasanya kek sepi gitu. Padahal biasanya kalau sore atau malam rumah tuh ribut banget kek medan perang. Sekarang kok sepi banget ya"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nathaniel ✓
FanfictionBagi Nathan keluarganya itu merepotkan tapi sayang sekali dalam hatinya Nathan juga ingin mengakui bahwa dia sangat sangat menyayangi mereka. Spin-off Wirasaksena