56

5 1 0
                                    

Sunyi. Entah suasana sekitar yang memang terasa begitu, atau Kim yang telah mati. Mati untuk mengerti situasi yang tengah menyelimutinya dengan sadis detik ini.

Satu bulir air mata luruh begitu prosesi pemakaman telah usai. Setelahnya, dia mendapatkan usapan lembut dari seseorang tepat di sampingnya.

Kim hanya menyandarkan pelipisnya pada pundak milik Kaya. Membiarkan air matanya mengalir tanpa mau menghilangkan jejaknya sedikitpun.

Sunyi, semua terdiam. Sejak pagi tadi Kim terus ditemani oleh kedua sahabat terbaiknya. Bahkan keluarga Kaya maupun Katya membantu menangani biaya pemakaman Husna seolah Kim ini bagian keluarga mereka.

Di saat seperti ini, dia justru merasa menjadi manusia yang benar-benar tidak ada gunanya.

Dengan samar-samar, dia mengedarkan matanya. Menatapi semua wajah yang hadir di pemakaman Husna. Berimajinasi jika mungkin saja secara ajaib Ayahnya yang sudah belasan tahun pergi akan menghadiri acara paling pahit ini.

Tapi bodoh. Kim itu sebatang kara. Manusia dengan nasib sial yang tidak memiliki harapan apa-apa.

Sekali lagi, satu bulir air hangat membasahi pipinya. Gundukan tanah merah itu cukup jelas menamparnya bahwa ribuan kenyataan pahit akan segera berdatangan. Yang Kim takut I adalah Gita.

Ya Tuhan... Gadis kecil itu terlalu muda untuk menghadapi pahitnya kehidupan, janganlah hancurkan masa kanak-kanaknya yang indah itu.

Kim memejamkan matanya erat-erat, menahan rasa desiran hati yang semakin menjadi. Terlebih begitu ingat Gita, Adik tiri kesayangannya. Tentu, tidak akan mudah bagi gadis sebesar Gita paham akan situasi yang benar-benar gila ini.

"Kim... Lo nginap di rumah gue aja ya."

Kim menoleh, ada Katya di sampingnya.

Tidak langsung merespon, Kim justru tersenyum sayu.

"Gue itu miskin," kata Kim, "... Dan Gue nggak mau ganggu kehidupan orang, especially my best friend... Big no." ucap Kim, dia lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Kaya dan Katya.

"Kim?" panggil Kaya.

"Just let me alone." jawab Kim tanpa menoleh kebelakang, dia tetap berjalan sendiri tanpa mengerti arah yang dia tuju.

Karena yang dia inginkan adalah penjelasan, bukan bantuan orang lain yang simpatik karena kehidupannya yang sengsara ini.

Kim ingat, ketika dia masih siswi SMP, dia mengeluh soal hidupnya yang berbeda dari yang lain. Dan Husna bilang... Kehidupan yang kita jalani itu milik kita, tidak bisa di pindah tangankan ke orang lain, begitu pun dengan orang lain, mereka juga punya kehidupan masing-masing.

Dan sejak saat itu Kim paham, bahwa dia harus mencintai hidupnya sendiri.

Tapi...

Langkah kaki Kim perlahan berhenti, hingga pada akhirnya benar-benar berhenti.

Apa semua masih sama? Setelah ini?

Mendadak kedua matanya memanas, hingga akhirnya buram dan pecah juga tangisnya disana.

"Bunda Kim nggak bisa hidup sendiri... hiks... hiks"

"Kim capek sama diri sendiri! Kenapa bunda jahat ninggalin Kim?! Padahal bunda satu-satunya hidup yang Kim punya! KENAPAAAAA?!" teriak gadis itu yang tiba-tiba saja diikuti datangnya hujan deras yang langsung menenggelamkan jerit tangis Kim.

Gadis itu perlahan terduduk. sambil masih terisak, dia memeluk kedua lututnya. Membiarkan air hujan membasahi orang nelangsa yang meminta keadilan itu.

Entah kenapa, di saat-saat seperti ini, Kim justru ingat...

Evan.

Mendadak, tangis Kim pecah lagi di tengah suara derasnya air hujan menerpanya.

Cowok itu bahkan tidak menampakkan diri sama sekali di saat-saat situasi pahit ini. Bahkan Tris pun sempat Kim lihat dia menghadiri acara pemakaman Husna, meskipun hanya sesaat. Tapi kali ini cowok itu...

Benar-benar menenggelamkan dirinya. Jauh berbeda dengan Evan yang dia kenal. Sejahat itukah dunia?

___________

Setelah terdengar suara pintu terbuka, secara perlahan-lahan Kim berbalik hingga akhirnya dapat berhadapan langsung dengan orang yang dia pikirkan sejak tadi.

"Semua orang datang tadi," mulai Kim "... Kaya, Katya bahkan Tris... Cuma lo yang nggak ada." pungkas Kim dengan sorot mata kecewa sambil terkekeh senyum miris.

"Sori soal itu. Gue ada urusan." jawab cowok itu. Sama datarnya seperti sikap yang dia berikan sehari-hari.

Apa? Ada urusan dia bilang?

Dengan wajah tak percaya, mata Kim tiba-tiba terasa memanas lagi.

"Lo tau kan kalau Bunda masuk rumah sakit waktu itu? Lo tau hal itu Van!" tekan Kim mulai emosi karena sikapnya yang tidak merasa bersalah sama sekali.

"Tante Ana bilang sendiri kalo dia ngabarin lo dulu sebelum ngabarin gue,".... Kenapa Van???"

Cowok itu masih terdiam. Bedanya kali ini dia paham jika Kim mulai benar-benar kecewa padanya.

"Lo nggak paham Kim, kalo apa yang gue lakukan sekarang ini...." ada jeda sesaat, "... untuk lo Kim."

Tiba-tiba kata 'untuk lo' berdenging tajam di gendang telinga Kim. Tidak salah kan Kim dengar kata itu?

"Gue cuma bertanya-tanya Van, KENAPA LO NGGAK NGABARIN GUE KALAU BUNDA WAKTU ITU--"

"SEMUA ORANG ITU PUNYA URUSAN MASING-MASING!"

Deg!

Mendadak Kim menahan napas begitu secara tiba-tiba Evan menabrak ucapannya.

"NGGAK HANYA NGURUSIN LO YANG BERANGGAPAN PUNYA KEHIDUPAN SIAL!"

Mata Kim kini membelalak tak percaya. Tidak mungkin seorang Evan yang dia kenal selama ini mendadak menghancurkan rasa kepercayaannya begitu saja.

"LO BUKAN SATU-SATUNYA ORANG YANG PERLU DIPEDULIIN!"

Dia bukan Evan yang gue kenal

Merasa Kim mulai terdiam tak percaya akibat sikapnya. Akhirnya cowok itu meremas rambutnya seolah menyesali perbuatannya barusan.

Dia menatap Kim dengan raut frustasinya itu.

"Lo itu terlalu egois Kim." pungkasnya.

Mendadak hening. Setelah Evan mengeluarkan semua hal itu, hanya ketegangan yang tersisa. Kim maupun Evan, keduanya terdiam.

Hingga akhirnya Kim tersenyum lirih kearah cowok itu dan berkata...

"Gue itu lagi berduka Van..." senyum Kim diikuti memburamnya kedua mata,"... dan gue pikir gue akan merasa baikan kalo gue ketemu lo."

"... Ternyata salah ya." pungkasnya terkekeh miris diikuti luruhnya satu bulir air mata.

Kemudian Kim menghapus jejak air matanya, dan tersenyum lebar-lebar dihadapan cowok itu.

"Makasih kata-katanya, menginspirasi banget buat gue."

Kemudian hilang begitu saja. Kim langsung berbalik lalu pergi darisana, membawa ribuan luka baru yang datang dari orang yang tidak pernah Kim duga jika dia akan seperti itu.





Rain and Winter [COMPLETED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang