SF 23

2K 118 7
                                    






Perth membuka pintu rang ICU. Berdiri kaku disana selama beberapa detik sebelum kemudian melangkah masuk lebih dalam.

Pandangannya menatap lurus ke depan, pada satu
sosok yang tengah berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan wajah pucat dan terpasang alat bantu pernafasan disana.

Duduk di samping ranjang, di kursi yang tersedia di
sana, tangan Perth terjulur meraih tangan sosok
tersebut kemudian menggenggamnya erat. Terasa dingin. Tidak hangat seperti dulu.

"Daddy harap kau bisa melewati masa kritismu, Saint. Lawan racun itu, lalu bukalah matamu."

Ya, Saint mash belum sadarkan diri. Kondisinya masih kritis. Meski telah diberi obat untuk mensterilkan racun dalam tubuhnya sekaligus pembersihan rahim usai keguguran telah di lakukan, tapi tubuhnya belum bisa merespon obat dengan baik, hingga sampai saat ini kondisinya masih kritis.

Tidak ada yang bisa Perth lakukan, kecuali menerima takdir yang Tuhan berikan untuknya.
Sayangnya, ia tidak seperti itu. Dalam hatinya ada keinginan besar kesembuhan bagi Saint. la ingin Saint sembuh, ia tidak ingin kehilangan lagi.

"Kau harus sembuh, Saint. Bagaimana pun caranya kau harus sembuh? Daddy akan lakukan apapun agar kau sembuh. Daddy janji." ucap Perth sembari mencium tangan Saint berulang kali.

Pandangan Perth terpaku pada perut rata Saint.
Hatinya sesak mengingat hal itu. Anak yang seharusnya ia pertahankan, kini sudah tiada. la tidak tahu bagaimana nanti caranya memberi tahu Saint ketika pria itu sadar.

Air mata yang dulunya tidak lagi pernah menetes,
sekarang kembali menetes dari matanya.

"Maafkan Daddy, Daddy gagal menjaga anak kita. Dia sudah tidak ada, Saint."

Satu tangannya yang menganggur bergetar ketika di
tujukan di atas perut itu. Perut yang tadinya bersemayam janin di sana. Janin yang telah hilang tidak sampai satu jam setelah ia tahu kewujudandia dalam perut tersebut.

Andai ia bisa lebih cepat menyelesaikan masalahnya, andai ia lebih mampu menjaganya.
Andai ia bisa lebih cepat mencarinya.
Andai a bisa lebih cepat menemukannya.
Andai ia bisa lebih cepat membawanya ke rumah sakit meski kemungkinan selamat hanya 10 persen, tidak mustahil janin itu selamat kan?
Harusnya ia bisa lebih dan lebih cepat lagi.
Sekarang ia merasa menjadi pria yang tidak berguna dengan perandaian yang sia-sia.

"Maafkan Papa yang tidak menyelamatkan dan
mempertahankan mu. Se-semoga kau bahagia di sana." ujarnya dengan suara bergetar, terdengar jelas, kentara sekali kesedihan di sana.

"Kamu tidak perlu khawatir. Orang yang telah
menyelakakan mu sudah Papa masukan ke dalam rumah sakit jiwa. Nanti setelah dia sembuh, Papa akan memberikan dia balasan setimpal, di penjara seumur hidup kalau tidak hukuman mati lebih pantas untuknya." geram Perth, ia juga berharap kesembuhan wanita itu agar ia bisa membalaskan dendam dan sakit hatinya. Terlalu enak nantinya jika wanita itu tetap gila, berada dibawah lindungan hukum dan selamanya tetap di rumah sakit jiwa. Rasanya kurang setimpal atas apa yang dia lakukan terhadap kesayangannya dan calon anaknya. Andai negara ini tidak ada hukum, ia pasti akan membunuh wanita itu saat ini juga. Sayangnya Negara ini Negara hukum, yang masih mentoleransi manusia pengidap gangguan kejiwaan.

Sedikit bangkit dari duduknya, Perth mencium perut Saint. Kemudian beralih pada kening Saint, ia berikan kecupan di sana. Cukup lama Perth mendiamkan bibirnya mendarat di sana sembari meneteskan air matanya. Kesedihan tampak begitu dalam ia rasakan. Tak tertinggal pula ia kecup di kedua mata Saint, dikedua pipi, di hidung, masih dalam jarak dekat Perth berujar.

"Daddy sangat merindukanmu. Ceparlah sadar, Saint. Dad... daddy mencintaimu." bersamaan dengan itu a memberi kecupan terakhir di bibir Saint.

"Maaf aku mengganggu."

Step Father (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang