SF 22

1.8K 118 7
                                    






Seorang wanita duduk dengan menekuk kedua
kakinya, wajahnya ia sembunyikan diantara lipatan tangan yang bertumpu pada lutut. Keadaannya jauh dari kata baik. la hancur pun dengan hatinya. Tidak ada kesanggupan. Dirinya benar-benar hancur sampai ia sendiri merasa tidak ada satu pun yang tersisa untuk ia pertahankan agar tetap utuh dan terjaga.

Perlahan kepala wanita itu terangkat dari
persembunyiannya. Tatapannya lurus ke depan. Fokusnya hanya ada di satu titik yang melekat pada dinding. Pada sebuah pigora berisikan foto seorang wanita dan seorang laki laki berbeda generasi dengan umur.

Sekilas kenangan bersama sang anak yang begitu
membekas di benaknya. Anaknya yang manja yang tidak pernah ingin lepas darinya. Selalu ingin bersama dengan dirinya dan meniru apapun yang ia lakukan. Bukannya marah, tapi ia merasa senang. Dia satu-satunya anak yang ia miliki setelah suaminya meninggal. Tentunya rasa sayang dalam hatinya sangat besar melebihi hal sepele tersebut.

"Kenapa jadi begini?" la menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Air mata kembali mengalir. Tidak terelakkan. Rose tidak pernah membayangkan rumah tangga nya kedua serumit ini. Suaminya
direbut anak sendiri? Tidak. la tidak pernah membayangkannya.

Nyatanya, menanamkan fikiran positif dalam diri bukan berarti berakhir positif juga, yang ia alami kini, hasil dari ia selalu berfikir positif tetapi malah berakhir negatif. Statement orang-orang selama ini
ternyata salah, mereka bilang berpikirlah positif maka akan menghasilkan sesuatu yang baik, tapi, akh! Mereka salah.

"Rose." gumamnya dalam tangisan.

"Rose.."

"Aku Rose, istrimu."


Flashback

"Aku ingin kita menonton." Ucapan singkat Perth
mengalihkan perhatian Rose dari memberes meja makan. Rasa senang menyeruak dalam hatinya. Berfikir pria yang baru saja menjadi suaminya menginginkan kencan yang tak pernah
mereka berdua lakukan.

"Boleh." Semangat Rose, kapan lagi coba Perth ingin berduaan dengan dirinya.

"Kita mau ke mana? Bioskop? Atau menonton dalam kamar?" lanjutnya lagi, diakhir kalimat ia merubah nada suaranya, sedikit menggoda. Agar suaminya yang kaku itu tergoda olehnya.

"Aku punya bioskop sendiri."

"Wah, sepertinya aku harus menjelajah rumahmu ini, sayang. Baiklah, aku mau mencuci piring dulu bersama Saint.

"Tunggu ya."

"Ajak Saint sekalian."

Seketika itu tubuh Rose mendadak kaku. Begitupun Saint yang berada di dapur tengah mencuci piring yang tanpa sadar menggenggam erat piring dengan kedua tangannya.

"Sai-nt, kenapa bukannya kita hanya menonton berdua saja?" protes Rose sedikit nada tak terima di sana.

'"Aku ingin merasakan kehangatan keluarga."

Sekejap Rose terdiam, ia memikirkan nasib suaminya yang sejak dulu seorang diri. Tak ada orang tua maupun saudara yang bisa diandalkan untuk menemaninya dalam keadaan apapun. Sebagai seorang istri sudah tugasnya membahagiakan suami termasuk memberikan kehangatan sebuah keluarga yang telah hilang sejak dulu dari hidup suaminya. Tanpa rasa curiga Rose menjawab,

"Baiklah."

End Flashback

"Rose."

"Aku Rose, namaku Rose. Harusnya kau hanya
menyebut namaku saja bukan orang lain."

"Perhatianmu harusnya untukku bukan orang lain."

Step Father (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang