SATU

3.4K 221 63
                                    

"Ibu, Lia pergi dulu ya!" ucap seorang gadis berusia delapan belas tahun yang saat itu tengah bersiap meninggalkan rumah untuk bekerja.

"Iya, kamu hati-hati di jalan!"

Setelah bersalaman, gadis bernama lengkap Lilyana Chaliana Jelita itu pun pergi meninggalkan rumahnya menuju tempat kerjanya di sebuah perkebunan teh milik seorang pengusaha dari ibu kota. Setelah menyelesaikan sekolahnya, Lia harus berpuas diri sebagai lulusan SMA karena alasan financial keluarganya.

Gadis berparas ayu itu pun memutuskan untuk bekerja di perkebunan teh yang tak jauh dari rumahnya. Meski harus berpanas-panasan saat memetik daun teh, Lia tak pernah mengeluh akan hal itu. Gadis itu bahkan bersyukur karena dengan begitu dia bisa meringankan beban ibunya dan bisa membiayai pengobatan ayahnya yang sudah sejak lama sakit-sakitan.

Beruntungnya gadis itu cukup pintar dan mendapatkan beasiswa di sekolahnya. Setidaknya meringankan beban orang tuanya dalam membiayai sekolahnya. Terkadang saat masih sekolah, Lia menyambi dengan berdagang kue yang ibunya buat. Menitipkannya di kantin sekolah atau mengambil pekerjaan paruh waktu dari tetangga-tetangganya yang mampu dan mau memberinya pekerjaan.

"Selamat pagi mang Sarip!" sapa Lia, pada seorang tukang kebun yang saat itu sedang membersihkan bagian depan rumah besar itu lengkap dengan senyuman hangat di wajahnya.

Lia memang terkenal ramah. Gadis itu memang sering menyapa tetangganya dan juga membatu mereka. Termasuk pada Mang Sarip, si tukang kebun yang selalu menjaga satu-satunya rumah paling mewah di desanya.

Rumah mewah itu katanya milik seseorang yang menjadi bos Lia sekarang. Iya, si pemilik hektaran kebun teh beserta pabriknya. Mereka sengaja membangun rumah di desa Lia untuk berjaga-jaga, jika mereka sesekali harus berkunjung ke desa guna memantau perkebunan teh miliknya.

"Eh neng Lia, selamat pagi." balas Mang Sarip. "Sudah mau berangkat neng?"

"Iya mang, lumayan udara pagi seger di kebun. Sayang kalo dilewatkan." jawab Lia apa adanya.

Memang iya, udara pagi di sana memang sangat menyegarkan. Makanya Lia selalu berangkat lebih awal ke kebun teh, meski waktu kerjanya terkadang masih kurang tiga puluh menit lagi. Kata gadis itu, dari pada terlambat mending datang lebih awal bukan.

Saat keduanya asik mengobrol, seseorang yang baru saja bangun dan berdiri di balkon kamarnya di lantai dua rumah itu memperhatikan Lia dan mang Sarip. Tak ada yang spesial, pemuda yang mungkin kini berusia dua puluh lima tahun itu sedang menerima panggilan telfon dari seseorang. Wajah bantalnya menandakan bagaimana ia terganggu dengan panggilan telfon di pagi hari itu. Mungkin harusnya dia masih tertidur sekarang, mengingat ia baru sampai di rumah itu kemarin sore.

"Come on mam, kita udah membicarakan ini. Aku tidak bisa menceraikan Karina begitu saja. Meskipun dia mandul sekali pun!" ujarnya tegas dengan wajah dinginnya.

Percakapan yang selalu diperdebatkan setelah keluarganya mengetahui bahwa sang istri tidak bisa hamil. Mereka sudah menikah sejak dia berusia dua puluh tiga tahun. Itu artinya usia pernikahannya menginjak dua tahun, dan selama itu juga mereka menantikan kehadiran seorang anak yang akan melengkapi keluarga kecil mereka. Namun pada akhirnya kenyataan itu menampar semua angan-angannya.

Iya, istrinya tidak bisa hamil. Awalnya mereka berpikir mungkin Allah gak mengizinkan mereka segera memomong anak karena belum saatnya. Sampai suatu ketika mereka akhirnya memeriksakan hal ini pada dokter dan istrinya di vonis mengalami infertilitas dimana kondisi itu membuatnya tidak bisa hamil.

"Mau sampai kapan Jevan? Kamu tetap harus punya anak!" ujar seseorang di sebrang sana yang pemuda itu panggil mama.

"Jevan tau ma, tapi Jevan gak pernah setuju jika harus menceraikan Karina. No, lagi pula..."

WEDDING AGREEMENT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang