DUA PULUH TIGA

827 135 31
                                    

Jevan melepas pelukan Karin saat ia mendengar suara benda terjatuh di luar kamarnya. Entah hanya perasaannya saja atau bagaimana, Jevan hanya khawatir orang yang ada di pikirannya saat ini mendengarkan percakapannya dan Karin barusan.

Jevan menoleh ke arah kanan dan kiri. Tak ada siapa pun di sana, ia hendak mengecek tempat lainnya sampai akhirnya seseorang mengejutkannya. Salah satu asisten rumah tangga Jevan yang tadi ia suruh untuk membersihkan lantai muncul secara tiba-tiba membawa peralatan pel.

"Bi ngapain di situ?" tanya Jevan, ia menatap curiga.

"Oh itu den tadi saya harus membereskan sesuatu di teras balkon di suruh nona Lia!" ujarnya.

Jevan terdiam sejenak masih ngecek arah lain. "Ada apa tuan?"

"Oh tidak, lanjutin aja!" ujar Jevan sebelum akhirnya melangkah pergi kembali ke kamar Karina.

Setelah mendengar suara pintu yang tertutup. Seseorang keluar dari persembunyiannya. Ia menyeka air matanya dan mengatur nafasnya yang seakan tersengal saat itu. Ia menatap ke arah asisten rumah tangga itu sembari tersenyum kecil seakan mengucapkan terima kasih karena telah menolongnya.

Lia melangkah memasuki kamarnya dan kedua buah hatinya. Menatap keduanya lamat lamat, hasil buah cintanya bersama laki-laki yang ia pikir tak pernah mencintainya itu. Salahkah Lia menaruh harapan? Lia hanya berharap, tak bisakah harapan itu terwujudkan?

Ya, nyatanya Lia benar-benar jatuh pada sosok Jevan saat ini. Lelaki itu berhasil mengambil hatinya dan kemudian Lia tau bahwa itu bukan untuk di simpan melainkan di hancurkan. Jelas gadis itu kecewa. Hanya saja, siapa yang bisa ia salahkan selain diri sendiri. Toh kenyataannya dia tau sejak awal bahwa dalam pernikahan ini tidak akan sampai memakai hati.

Lia tau, Jevan hanya bercanda. Harusnya gadis itu tertawa bukan malah jatuh cinta dan membuat hancur harapannya. Lia menenggelamkan wajahnya. Merutuki kehidupannya. Hingga bertanya-tanya, apakah ia tak pantas untuk bahagia? Entahlah, Lia merasa pusing sekarang. Rasanya ia ingin sekali hilang ingatan. Melupakan semua perkataan Jevan yang menyakitkan.





***

Hari itu pun tiba. Kediaman Jevan sudah ramai oleh beberapa tamu undangan. Karina sudah mempersiapkan diri untuk memakai pakaian lebih sopan. Wanita itu mengelus perutnya yang membesar. Hanya tinggal beberapa waktu lagi hingga anaknya dan Jevan lahir. Rasanya ia pun tak sabar.

Lia sendiri juga sudah bersiap-siap. Hanya saja ia tetap di dalam kamar. Untungnya ada Winona dan Rianti yang menemaninya. Keduanya tengah asik bercanda dengan Juan dan Julia yang merespon dengan gelak tawa menggemaskan mereka.

Gugup, tentu saja. Ini kali pertama Lia akan bertemu dengan keluarga besar Jevan. Tidak, bukan hanya keluarga besar, tapi ada juga kolega Jevan dan Doni. Rasanya masih seperti mimpi untuk Lia. Jantungnya berdegup dengan cepat. Wanita berhijab itu kembali mengecek penampilannya. Menatap lekat cermin di depannya.

Lia bahkan masih tak mempercayai bahwa yang ia lihat di cermin itu adalah dirinya. Gaun gamis yang indah, polesan makeup yang cantik benar benar merubah dirinya. Meski sejujurnya Rianti dan Winona selalu bicara, bahwa pada dasarnya Lia itu memang cantik. Hanya saja dulu mungkin kurang perawatan.

Bagi Lia yang dulu, perawatan itu tak penting. Lagi pula ia tak cukup uang untuk melakukannya. Bahkan untuk membeli skincare aja ia tak mampu. Lagi pula untuk apa juga Lia melakukan itu. Jika ia lebih mementingkan itu, yang ada keluarganya tidak makan. Lia pasti enggan bekerja di kebun teh hingga siang hari. Bahkan mungkin Lia akan menolak menjajakan kue bikinan ibu sepulang ia bekerja di kebun. Mengingat saat itu matahari benar benar bersinar tanpa bersahabat.

Namun lihat lah dirinya yang sekarang. Putih, bersih, dan cantik. Kulitnya yang dulu menggelap akibat sinar matahari sudah berubah akibat beberapa perawatan yang ia lewati bersama Rianti dan Winona setiap kali keduanya mengajak Lia. Sejujurnya itu juga perintah Jevan.

WEDDING AGREEMENT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang