LIMA

1.1K 133 18
                                    

"Loh mas, kita ngapain ke rumah sakit?" tanya Lia bingung saat Jevan memarkirkan mobilnya diparkiran sebuah rumah sakit. "Siapa yang sakit mas?"

Tak ada jawaban dari Jevan bahkan panggilan telfon yang sedari tadi berdering dari ponsel Jevan pun diabaikan. Padahal di situ jelas-jelas Lia bisa lihat tertera nama istri pertama Jevan. Tapi entah kenapa Jevan enggan mengangkatnya sekarang.

"Kita turun ya, lo jangan banyak tanya dulu!"

Lia menuruti Jevan, ia pun turun dan berjalan mengikuti Jevan. Gadis itu menatap punggung Jevan yang kini tengah mengobrol di bagian admistrasi. Setelah itu lelaki itu memanggil Lia untuk ikut ke ruangan salah satu dokter.

Awalnya Jevan sendiri yang masuk. Lia pikir Jevan sedang sakit, namun kemudian Jevan memanggilnya untuk ikut masuk ke dalam. Lia pun hanya menurut saja. Ada seorang dokter yang tersenyum ke arah Lia.

"Selamat siang!" Lia tersenyum canggung. "Ayo duduk!"

"Terima kasih!"

"Gimana keadaan kamu hari ini Lia?" tanya dokter tersebut.

"Baik!" sahut Lia rada heran, kenapa dokter tersebut bisa mengetahui namanya. Mungkin tadi Jevan menyebut namanya di sela-sela obrolan mereka.

"Tadi pak Jevan bilang kalian pengantin baru ya? Saya turut senang mendengarnya." Lia hanya tersipu malu.

"Terima kasih dok!"

"Kalian kan berencana memiliki anak. Lia jangan sampai banyak pikiran ya!" ujar sang dokter hendak memegang tangan Lia. Namun Lia reflek menariknya, padahal dokter tersebut perempuan.

Bahkan Lia merasa bingung kenapa dia enggan sekali disentuh oleh seseorang secara tiba-tiba itu. Bahkan saran dokter tersebut, Lia hanya menganggapnya sebagai saran biasa yang dilakukan oleh semua dokter, tanpa tau maksud dibalik itu.

"Mas, ini program buat hamil ya?" tanya Lia polos. Sang dokter hanya tersenyum kecil.

"Iya." sahut dokter itu. "Kalo ada apa-apa Lia bilang aja. Kalo merasa sakit pusing atau bahkan cemas Lia bisa cerita ke pak Jevan, takutnya malah ganggu kesehatan Lia nanti saat Lia hamil!" Lia mengangguk paham tanpa curiga sedikit pun.

"Lia gak apa-apa dok kemarin..." ucapan Lia terhenti seakan lupa ia kemarin malam sudah melakukan apa aja. "Lia udah makan teratur kok, Lia istirahat yang cukup juga!" ucapnya bimbang.

"Bagus kalau begitu. Ya sudah kalau begitu boleh saya bicara dengan pak Jevan dulu!"

Lia mengangguk lalu pergi menjauh dari keduanya. Masih di dalam ruangan hanya saja Lia hanya berkeliling melihat ruangan dokter tersebut.

"Bagaimana dok?"

"Lia mengalami amnesia disosiatif akibat traumanya. Dia melupakan kejadian traumanya semalam namun masih ada sedikit sisa trauma yang bahkan membuatnya terlihat bingung, seperti refleknya ketika ingin di sentuh. Saya rasa ketika istri anda mengalami kejadian seperti semalam, dia merasa sangat trauma, makanya dia memblokir ingatan trauma tersebut."

"Terus saya harus bagaimana?"

"Hal pertama yang harus dilakukan adalah menghilangkan rasa trauma itu. Melihat refleks Lia saat ingin disentuh, dia pasti merasa terpukul sekali akan kejadian semalam. Lia akan mudah kehilangan arah jika penyakitnya kambuh. Emosinya tidak akan stabil, dia akan merasa bingung dan bertanya kenapa dia bisa seperti itu. Pak Jevan hanya perlu mengawasi istri bapak, dan sebisa mungkin dia tidak mengalami stres lagi."

Jevan menoleh ke arah Lia sejenak. "Baik dok terima kasih!"

Setelah konsultasi pada seorang dokter psikologi. Jevan dan Lia meninggalkan rumah sakit tersebut. Lia tak menaruh curiga apapun pada Jevan. Dia berpikir kunjungan tersebut memang untuk program dia hamil, padahal tidur dengan Jevan saja dia belum pernah.

WEDDING AGREEMENT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang