DUA PULUH SEMBILAN

904 137 18
                                    

Lia hendak pergi dari tempat itu, namun sayang pergerakannya jelas ditahan oleh orang itu. Wanita itu terdiam saat dia mulai berbicara. Melihat kondisinya saat ini membuat hatinya nyeri. Rasanya ia sudah berbuat salah pada lelaki itu. Nyatanya ia yang lebih sakit saat ini.

"Kenapa? Kenapa lo ngehindar dari gue?" Lia tak menyahut. Ia hanya memperhatikan lelaki itu dari tempat dimana ia berada saat ini.

"Katanya lo gak akan pergi? Mana janji lo?" Lia mengerutkan keningnya.

Janji?

Janji apa yang laki-laki itu maksud. Lia bahkan tak mengingatnya. Sungguh Lia lupa, ia tak ingat memori tentang apapun dengan kata janji itu. Lia menghembuskan napas pelan. "Lia harus pergi mas!"

"Sebentar aja, boleh gak gue peluk lo?" Lia tak bergeming. Ia ragu menuruti permintaan itu.

"Keluarga Lia sudah menunggu."

"Biar gue antar ya?" Lia menggeleng pelan.

"Tidak usah!" sahut Lia cepat. Ia tak nyaman jika terus-terusan berada di situasi ini. Dia tau lelaki di hadapannya ini adalah kelemahan terbesarnya.

"Li, apa gue gak ada kesempatan buat nebus semua kesalahan gue?"

Lia benar benar tak menyahut. Dia hanya menatap manik mata sayu lelaki itu. Hingga akhirnya Lia mendekat dan memeluknya erat. Tak ada satu patah kata pun yang terucap, hanya senyuman hangat yang terpatri di wajah cantiknya kini. Hingga sebuah mobil berhenti di dekat mereka. Mobil yang sangat lelaki itu kenal.

Lia melepaskan pelukannya. Tanpa berbicara sepatah kata pun, berjalan menjauh mendekati mobil itu. Lelaki yang ada di dalamnya sempat keluar. Lelaki yang dia kenal, tersenyum menyambut kedatangan Lia ke arahnya. Lalu keduanya pergi meninggalkan lelaki itu sendirian.

"Lia!"

"Lia tunggu aku!" teriak lelaki itu dan mulai mengejar laju kendaraan yang pergi meninggalkannya seorang diri.

"Lia!!!"

"LIAAA!!!"

"Jevan!!"

Mata yang mulanya terpejam itu kini mulai terbuka. Ada beberapa orang yang berdiri di sekelilingnya. Mereka menatap ke arahnya khawatir. Namun satu di antara mereka menatap ke arahnya kecewa. Karin sang istri yang kini tengah menggendong anaknya yang baru berusia beberapa bulan itu.

"Jevan kamu kenapa?" tanya Doni khawatir, sedari tadi ia berusaha membangunkan Jevan yang mengigau.

Jevan baru sadar, dia berada di salah satu ruangan rumah sakit. Ia tak ingat sama sekali apa yang sudah terjadi. Ia hanya ingat sebelumnya dia pergi menemui Javi untuk menanyakan dimana Lia berada. Peluh masih membasahi keningnya, ketika Jevan secara tiba-tiba memaksa untuk duduk yang mengakibatkan pusing menyerang kepalanya begitu saja.

"Jevan ada dimana, pa?" tanya lelaki itu.

"Kamu ada di rumah sakit. Tadi kamu mengalami kecelakaan!" sahut Doni menjelaskan.

"Kecelakaan?" Doni mengangguk membenarkan.

"Untung gak parah, kamu kenapa nyetir habis minum gitu?" tanya Tiffany yang juga gak kalah khawatir.

"Lagian ngapain sih kamu masih mikirin wanita itu. Jevan, ingat ya Karin ada buat kamu. Kamu sendiri yang mau sama dia, jadi tolong hargai dia!" ucap Tiffany yang menatap ke arah Karin sekarang.

Wanita itu hanya terdiam. Rasa sesak di dadanya tak bisa ia sembunyikan. Seketika sekelebat ingatan-ingatan muncul. Suara tawa Jevan dengan wanita yang dimaksud. Senyuman Jevan yang mengembang setiap bertemu dengan anak-anaknya dari wanita itu. Raut wajah kesal yang sempat Karin lihat sebelum Jevan pergi dengan sebuah bingkai foto yang sudah pecah di ruangan kerja lelaki itu. Terakhir, melihat bagaimana di dalam mimpi lelaki itu, dia masih mengharapkan wanita itu kembali.

WEDDING AGREEMENT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang