TIGA PULUH DUA

940 92 24
                                    

Lia masuk ke dalam rumah dengan perasaan lega. Ia menaruh rantang makanan yang tadi sempat ia bawa. Membereskannya sebelum akhirnya akan dia cuci. Winona yang saat itu memang sudah berada di rumahnya menatapnya bingung.

"Loh kok utuh? Lo gak jadi ke tempat si Haris?" Lia menggeleng pelan.

"Hm... iya mbak!" ucap Lia ragu.

"Ada sesuatu ya?" tebak Winona.

"Gak kok, mas Haris yang nanti akan ke sini!" sahutnya berhati-hati.

"Oh gitu." Winona akhirnya percaya aja sama apa yang Lia katakan.

"Harin sama Julia dimana mbak?"

"Lagi sama ibu. Huft gak nyangka mereka udah mulai tumbuh besar, kemarin kayaknya masih kecil dan cuma bisa nangis dan ketawa. Sekarang sudah bisa di ajak ngobrol walau bahasanya masih kayak alien sih!" ujar Winona yang sempat mendengar suara kedua bayi itu membuat Lia ikut tertawa mendengar penjelasan Winona

"Iya, waktu berlalu dengan cepat. Setelah ini mbak Wino mau gimana?" Winona mengerutkan keningnya.

"Maksudnya?"

"Setelah ini mbak Wino kan lulus kuliah. Rencananya mau gimana?"

"Ah gak tau deh, gue belum ada kepikiran." sahut Winona yang memang masih bingung harus apa.

"Mbak sama mas Javi masih marahan ya?" Winona tak menyahut. Lia menghela napas pelan.

"Kalau terus di biarin, gimana nasib anak mbak Wino nanti!" Winona yang kala itu sedang memegang gelas refleks melepaskannya ketika mendengar penuturan Lia secara tiba-tiba itu.

BYAR!!!

Lia yang terkejut segera mendekati Winona. "Mbak Wino gak apa-apa?"

"Udah mbak Wino diem aja di situ, biar Lia aja yang beresin!" Lia buru buru mengambil kain lap dan juga sapu agar pecahan beling terkecil tidak tertinggal dan malah melukai orang lain.

Winona saat itu hanya melamun. Entah apa yang ada dipikirannya. Perkataan Lia barusan berhasil membuatnya pusing. Dia bahkan tak menyangka jika Lia akan tau sesuatu hal yang ia sembunyikan beberapa waktu ini. Padahal dia tak ada niatan buat menceritakan hal itu pada Lia.

Lia membereskan beling pecah tersebut agar tak melukai siapa pun. Ia melirik ke arah Winona yang saat ini sedang melamun. Ia paham, Winona pasti terkejut saat tanpa sengaja Lia mengetahui sesuatu yang tak pernah ia ceritakan sama sekali. Lia membawa gelas berisi air dan menyodorkannya lagi pada Winona.

"Gak usah mbak pikirin. Kalau mbak Wino mau cerita, Lia siap mendengarkan!" ujar Wanita itu.

"Mbak, Mbak Winona gak sendiri kok. Ada Lia di sini, tapi ingat..." Lia mengelus punggung tangan Winona. "Jangan gegabah!"

Setelah mengucapkan itu, Lia pergi meninggalkan Winona seorang diri. Dia masih harus mengurusi Harin dan Julia. Sebenarnya Harin beberapa hari ini terlihat rewel, jadi dia harus siaga pada anak itu. Beberapa kali Harin demam tinggi, sampai harus di bawa ke dokter. Sebenarnya dokter menyuruh Lia untuk melakukan pemeriksaan secara lengkap. Hanya saja dia belum sempat melakukannya.

Setelah hal yang tak terduga itu terjadi. Winona terlihat meninggalkan rumah Lia. Bukan marah, namun sepertinya banyak sekali yang harus dia pertimbangkan. Membiarkan janinnya tumbuh tanpa sepengetahuan orang lain, atau membiarkan orang yang seharusnya bertanggung jawab tau akan kondisinya. Namun sepertinya opsi terakhir terasa mustahil untuknya. Mengingat hubungan mereka terjalin bukan karena tumbuhnya perasaan cinta.

Lia termenung di dalam kamarnya, hingga ia membuka lacinya. Di sana ada sebuah kotak coklat yang tertutup rapih. Tangannya meraih benda itu dan perlahan membukanya. Matanya terpaku dengan nafas tercekat. Dadanya terasa sesak dengan air mata yang dengan cepat menumpuk di pelupuk matanya.

WEDDING AGREEMENT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang