TUJUH BELAS

1K 145 72
                                    

Hari kelahiran itu pun tiba. Sedari tadi Jevan menemani Lia yang kini tengah berbaring di ruang persalinan. Peluh sudah membasahi kening Lia. Wanita itu terus menahan nyeri akibat kontraksi. Pembukaan pada area intimnya masih belum cukup. Harus menunggu beberapa saat lagi sebelum akhirnya anaknya lahir.

Ketika kontraksi hebat, Lia mulai berteriak. Ia berusaha mendorong kedua bayinya keluar. Hingga seorang bayi laki-laki dan perempuan terlahir ke dunia. Mereka begitu tampan dan cantik. Begitu menggemaskan bagi Jevan. Lia menangis bahagia. Akhirnya dia bisa melihat kedua buah hatinya.

Doni, Tiffany, Karina, Rianti, Winona, dan juga Jevi menunggu dengan cemas di luar. Bahkan sosok Tiffany yang awalnya tidak perduli kali ini seakan tengah menanti kelahiran cucunya. Hingga Jevan muncul dan tersenyum ke arah mereka. Mengabarkan bahwa bayi bayinya lahir dengan sehat. Lia pun sama, wanita itu hanya perlu beristirahat saja.

Jevan bilang, kedua anaknya masih harus dimandikan sebelum akhirnya kembali ke Lia untuk di susui. Barulah nanti keluarganya bisa menjeguk mereka bertiga. selain keluarga Jevan, di sana ada ibu dan bapak Lia yang baru saja datang karena Lia mengalami kontraksi sebelum waktunya. Kedua bayi kembar itu lahir seminggu lebih awal dari tanggal yang sudah di tentukan.

Lia memejamkan matanya. Wanita itu menangis bahagia. Bisa melahirkan dua malaikat kecilnya selamat ke dunia benar-benar membuatnya bahagia dan sekaligus sedih. Entah, mungkin karna ia tau, waktunya tak akan lama lagi.

Jevan menghampiri Lia, menatap wanita itu dengan lekat. Berusaha berterima kasih karna berkat Lia, ia bisa mewujudkan keinginan kedua orang tuanya. Namun kini entah kenapa tatapan wanita itu berubah, tidak sehangat biasanya. Ia terlihat sedih. Hanya saja Jevan tak paham, mengapa Lia seperti itu.

"Terima kasih!" ucap Jevan.

"Hm... saya juga berterima kasih sama mas Jevan. Sudah bersedia menjemput bapak dan ibu buat nemenin saya!" sahut Lia, sembari tersenyum. Wajah lelahnya tak bisa di sembunyikan. "Mas Jevan bisa panggilkan bapak dan ibu? Lia ingin berbicara sama mereka."

Jevan mengangguk paham. Sebelum benar-benar keluar lelaki itu kembali menoleh ke arah Lia. Lia terdiam perasaannya campur aduk sekarang, bahagia, sedih, semuanya kumpul menjadi satu. Dadanya sesak, ia ingin menangis rasanya namun tak bisa.

Berbeda dengan Lia, Jevan tampak begitu bahagia tanpa sedikit pun ada khawatir di hatinya. Meski begitu Jevan tau, tatapan mata Lia meredup. Hingga ia berpikir mungkin karena wanita itu kelelahan saja, bukan karena hal lainnya.

Lia berbicara dengan bapak dan ibu. Wanita itu memeluk ibunya dengan erat. Melepaskan rasa rindu yang selama ini sudah ia pendam karena tak bisa pulang ke rumah. Lia bahagia karena bapak juga sudah membaik kesehatannya, dan ibu juga tak terlihat kelelahan lagi seperti dulu saat ekonomi mereka benar-benar ada di bawah.

"Maafin Lia!" cicit Lia sambil menangis. Rasanya Lia sudah gak sanggup harus berpura baik-baik saja dikala pikirannya berkelana jauh memikirkan bagaimana nasibnya.

Salah memang dia mulai menaruh hati pada lelaki yang sedari awal tidak pernah mencintainya. Harusnya dia tau semua konsekuensi sebelum dia menyetujui semua perjanjian itu dari awal. Tapi Lia tetaplah manusia, wanita itu tak bisa mengendalikan perasaannya kala ia sudah mulai merasa nyaman.

Bapak dan ibu hanya bisa memeluk Lia dengan erat. Nasi sudah menjadi bubur, mereka juga tidak bisa berbuat banyak. Di sisi lain, Jevan banyak membantu kehidupan mereka. Meski pada akhirnya mereka tau, ada maksud lain di belakang itu.

"Terus mau kamu seperti apa setelah ini?" tanya ibu setelah dirasa Lia sudah mulai tenang.

"Lia sudah memikirkan ini matang-matang, nanti kak Winona dan Mas Jevi yang bakal bantu Lia."

WEDDING AGREEMENT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang