DUA BELAS

940 130 51
                                    

Jevan hari itu tetap pulang ke rumah. Awalnya sih dia tidak mau, tapi Lia memaksanya. Iya, justru Lia yang menyuruh Jevan pulang ke rumah orang tuanya untuk menjelaskan semuanya dan menyelesaikan masalah. Meski berat hati, akhirnya Jevan pun menuruti kemauan Lia.

Lia tau, banyak beban yang harus Jevan tanggung sekarang. Dia tak ingin menambah bebannya dan malah memperkeruh suasana. Dia sedih, tentu saja. Sesuai dugaannya, kehadirannya bukan hal yang patut untuk diterima begitu saja.

Tidak, Lia tidak marah atas perlakuan ibu Jevan yang benar-benar menyakiti Lia. Kalau kata ibunya, kita sebagai manusia tidak boleh membalas perlakuan buruk manusia. Kita punya Allah. Ikhlas selebihnya yang akan membalas adalah sang pencipta bukan kita sebagai manusia. Pada dasarnya manusia tak pernah luput dari kesalahan.

Kata ibu, kita harus memaafkan atau kita yang harus minta maaf duluan. Pasalnya bisa saja kita yang salah. Seseorang bisa marah pada kita karena suatu alasan. Tidak mungkin seseorang tak menyukai kita jika memang tak ada sebab sebelumnya. Jika memang tidak ada, tidak apa kita mengalah saja, dan doakan semoga Allah menyadarkan orang tersebut.

Sesungguhnya kita sebagai manusia gak bisa membolak-balikkan hati manusia. Jika dia tidak suka, biarkan saja. Jangan pernah membalasnya dan mencoba memaafkan. Kedamaian kita yang ciptakan. Jika kita menyimpan dendam maka tak akan pernah ada rasa tenang di hidup kita. Begitulah pesan ibu yang selalu Lia ingat hingga sekarang.

"Kamu beneran mau aku pulang?" tanya Jevan sekali lagi untuk memastikan. Lia mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Lia gak apa-apa mas. Mas Jevan pulang aja, mbak Karin juga butuh mas Jevan. Lagi pula, mas Jevan harus jelasin semuanya ke mereka. Termasuk..." suara Lia tercekat saat mengingat perjanjian pernikahan yang udah dia sepakati sama Jevan.

Jevan tersentak, tak menyangka Lia akan berkata demikian. Wanita di hadapannya itu menarik napas panjang, sebelum akhirnya kembali menatap ke arahnya dan tersenyum lembut. Sangat tulus, Jevan bisa melihatnya. Sebuah senyuman yang justru membuat Jevan terluka.

"Mas Jevan pulang ya, Lia gak mau masalah ini berlarut-larut dan ngebebanin mas Jevan!" ujar Lia.

Jevan terdiam, rasanya lidahnya kelu hanya untuk menanggapi ucapan Lia. "Hati-hati di jalan. Titip pesan untuk Rianti dan titip pesan juga ke ibu mas Jevan. Maaf karena Lia tadi gak tau kalau ibu bakal dateng ke sini dan gak ngelakuin apa-apa untuk beliau!"

Hancur sudah hati Jevan. Bagaimana bisa dia tega melukai wanita berhati malaikat seperti Lia. Jelas-jelas tadi mamanya menolak kehadiran Lia dengan tegas. Lia tau itu. Selain itu dia juga merendahkan Lia dan keluarganya. Bagaimana bisa dia biasa aja dan masih berpikir ini adalah kesalahannya karena tak menyambut mama Jevan saat datang.

"Li..."

"Lia gak apa-apa mas!" tekan Lia sekali lagi. "Udah sana berangkat, nanti makin malam."

Jevan pun mau tak mau menuruti kemauan Lia. Setelah Lia bersalaman dengan Jevan seperti biasanya, wanita itu mengantar Jevan keluar hanya untuk melihat kepergian lelaki itu. Lia menatap punggung Jevan yang kini tak setegak biasanya. Jevan terlihat lelah di mata Lia.

"Sabar ya nak, ibu gak akan biarin seseorang menolak kehadiran kamu. Ibu akan berjuang agar kamu diterima. Dengan gitu ibu akan tenang jika harus ninggalin kamu nanti!" cicit Lia pelan mengelus perutnya pelan dengan air mata yang mulai menetes membasahi pipinya.

Seakan Lia tau waktunya tidak banyak lagi. Dia gak mungkin terus-terusan sama Jevan. Hal yang paling menakutkan di hidup Lia adalah harus meninggalkan buah hatinya dan orang yang kini sudah sepenuhnya menempati hatinya.

Setelah menutup pintu apartment tubuh Lia merosot. Ia menangis sejadi-jadinya. Hatinya sakit hanya untuk membayangkan dia akan meninggalkan Jevan. Lia tidak bodoh hingga dia gak tau kalau Jevan masih tidak sepenuhnya menerimanya. Dia tau ada cinta yang besar di hati Jevan untuk istri pertamanya.

WEDDING AGREEMENT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang