Prolog

5.7K 301 7
                                    

Hujan di luar makin deras disertai guntur yang terus bergemuruh. Aku masih menyingkap gorden dan menatap langit gelap yang sesekali diterangi kilatan petir. Bayiku yang tadi tertidur pulas di box mulai menangis. Saat berbalik, Louis yang sudah berusia enam bulan sedang berusaha merangkak sambil meraung-raung.

Tidak lama, pintu kamar bayi ini terbuka. Terlihat putri sulungku, Sofia, datang bersama selimut merah mudanya.

"Mama, aku takut petir," rintih Sofia, berlari memeluk betisku.

Aku menunduk menatap Sofia sebentar, lalu beralih lagi kepada Louis. Ada perasaan yang tidak aku mengerti sering muncul setiap kali menatap mereka. Rasa asing, meski kenyataannya mereka lahir dari rahimku.

"Kembali ke kamar, Sofia. Ingat kata Papa kamu harus mandiri." Aku mengusap kepala Sofia pelan.

"Aku takut, Mama. Aku mau tidur sama Mama, boleh?"

"Tunggu Mama di kamar. Mama bilang sama Papa dulu."

Sofia menurut, menyeret selimutnya keluar. Sementara Louis masih terus menangis membuat telingaku ingin pecah rasanya. Aku pun memutuskan menggendong bayiku, membawanya meninggalkan kamar dengan dekorasi biru muda itu.

Aku menuju ruangan yang berada di ujung lantai dua rumah yang aku tempati bersama keluarga kecilku. Salah satu ruangan yang sebenarnya tidak boleh aku masuki sembarangan.

Bersama Louis yang terus menangis, aku membuka pintu putih di depanku. Suara musik klasik yang entah gubahan siapa beradu dengan jeritan Louis. Lelaki itu sedang bersandar di sofa bed abu-abu dengan buku di tangan. Dia mendongak, menatapku dengan satu alis terangkat.

"Sayang, ada apa?"

Aku terdiam, menahan sesak yang dari tadi bersarang di dada. Aku terus menatap lelaki yang menikahiku lima tahun yang lalu. Dia berdiri, lalu mendekat kepadaku. Bibirnya melebar, lalu mengusap kepala Louis.

"Kenapa, Sayang?"

Aku tidak tahu kali ini dia bertanya kepadaku atau Louis.

"Aku mau kita cerai," ucapku, menatap senyum yang dulu selalu memanah hatiku.

Tidak ada raut kaget di wajahnya, seakan-akan aku hanya mengatakan selamat malam.

"Apa kamu sedang mengikuti tren prank selebriti yang tidak penting itu?"

Aku menggeleng. "Aku serius."

Musik biola dan piano makin cepat dan membesar, sedangkan Louis sudah menyandarkan kepala di pundakku.

"Bercerai? Kenapa?"

Sejak muncul keinginan bercerai setahun terakhir, aku pun sering menanyakan hal yang sama kepada diri sendiri. Dia masih tampan, uangnya terus bertambah. Dia juga setia dan tidak pernah hilang sebutan sayang dari mulutnya untukku.

Lalu, kenapa aku sangat ingin pergi jauh dari dirinya dan anak-anak kami?

*.*.*.

Tes pembaca dulu. Kalau vote dan viewer ada 50, aku duoble up 🥰🥰🥰

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang