Anggota Baru

880 77 5
                                    


"ᴹᵃᵏⁱⁿᵍ ᵗʰᵉ ᵈᵉᶜⁱˢⁱᵒⁿ ᵗᵒ ʰᵃᵛᵉ ᵃ ᶜʰⁱˡᵈ - ⁱᵗ'ˢ ᵐᵒᵐᵉⁿᵗᵒᵘˢ. ᴵᵗ ⁱˢ ᵗᵒ ᵈᵉᶜⁱᵈᵉ ᶠᵒʳᵉᵛᵉʳ ᵗᵒ ʰᵃᵛᵉ ʸᵒᵘʳ ʰᵉᵃʳᵗ ᵍᵒ ʷᵃˡᵏⁱⁿᵍ ᵒᵘᵗˢⁱᵈᵉ ʸᵒᵘʳ ᵇᵒᵈʸ."- ᴱˡⁱᶻᵃᵇᵉᵗʰ ˢᵗᵒⁿᵉ

*.*.*

Tepatnya 18 Juli, sehari sebelum ulang tahun pernkahanku yang pertam dengan Keenan, anak perempuan kami, Sofia, terlahir di dunia dengan berat 3,6 kilogram. Tiga belas hari lebih cepat dari prediksi dokter. Kado terindah yang melengkapi peringatan setahun kami bersama. Sofia adalah bayi tercantik yang pernah aku lihat, darah Italia-Moroko yang dia warisi dari ayahnya membuat wajahnya serupa boneka. Rasanya aku tidak rela saat suster harus membawanya ke ruang bayi setelah aku susui. Kultnya masih merah, tetapi mata cokelatnya lebih bening dari Keenan dan dipadu amber di tengah-tengah.

Harapanku Sofia menjadi semenanjung tempatku dan Keenan berlabuh selamanya. Seperti kata orang bahwa anak pertama, khususnya perempuan akan lebih dekat dengan ayahnya. Aku harap begitu karena mungkin saja Keenan akan mulai mengurangi porsi kerjanya. Saat di rumah pun, dia akan meluangkan waktu denganku dan Sofia. Namun, pagi tadi dia tetap berangkat bekerja, alasannya ada pekerjaan yang tidak bisa dia tunda. Sehingga, aku di rumah sakit bersama Delfi dan Mama Dewi. ibuku pun datang agak siangan bersama Kak Aryes dan Kinara. Kak Aryes dan Delfi tidak lama, katanya mereka harus berangkat kuliah karena ada ujian akhir semester.

"Sofia, cucu oma," kata Mama Dewi, terus menatap Sofia yang sedang aku gendong. Sesekali, dia menyentuh pipi Sofia yang gembul.

Kinara yang digendong Mama berceloteh membuat Mama Dewi dan Mama terkekeh. Keponakanku itu terus menjulurkan kedua tangan seolah-olah ingin mengambil Sofia dariku.

"Oh, Kiky mau main sama Dedek, ya?" Mama bertanya, lalu mencium pipi cucu pertamanya itu.

"Sini, biar Mama yang gendong," pinta Mama Dewi. "Kamu makan dulu."

Sofia berpindah ke gendongan Mama Dewi. terlihat ibu mertuaku itu sangat bahagia, sempat aku lihat dia menghapus air mata sambil tersenyum ketika duduk di sofa sambil memangku Sofia. Sementara Mama duduk di sampingnya dengan Kinara yang terus berusaha menarik kaki Sofia.

Mama Dewi membawa sayur daun katuk untukku, spesial dengan nasi yang dicampur dengan biji chia dan lauknya beef teriyaki. Daun katuk dan teriyaki terlihat tidak nyambung, tetapi aku cukup suka. Sementara Mama membawa camilan berupa kue yang terbuat dari berbagai kacang-kacangan, seperti; almon, kenari, dan mede. Makanan-makanan yang bisa memperlancar ASI. Selain itu, Keenan juga sudah mendaftarkanku untuk ikut kelas laktasi.

Selama satu hari di rumah sakit bersalin itu, kenalanku bergantian menjenguk, Termasuk teman sekelasku di sekolah dulu. Berkotak-kotak kado mereka bawa sebagai hadiah. Mama Dewi dan Mama memutuskan untuk pulang terlebih dahulu karena Delfi sudah datang. Apalagi, jam pulang Keenan tidak lama lagi, jadi kalau Delfi dan teman-temanku pulang, ada yang menemaniku.

"Cantiknya," puji Mira, bendahara di kelasku dulu.

Aku tersenyum, memuji diri sendiri, "Jelas, ibunya juga cantik."

Temanku yang bertubuh paling kurus dan satu-satunya lelaki yang datang, Jamal, menimpali, "Mana ada mukanya mirip lo. Cantik begini karena bapaknya ganteng."

Aku memutar bola mata, mencibir ke arah Jamal alias Jamilawati itu. "Mau bapaknya ganteng kalau emaknya modelan kayak lo, nggak cantik juga hasilnya."

April terkekeh, lalu menyetujui pendapatku, bahkan menambahkan, "Kalau sama si Jamila, jadinya kecebong."

Sebutan Jamila untuk Jamal kami buat karena dia lebih memilih berteman perempuan dan jago memasak. Namun, ia punya pacar dan sangat cantik yang sekarang LDR karena pacarnya itu kuliah di Jogjakarta.

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang