Hadiah Terindah

1.2K 102 1
                                    

“𝘛𝘰 𝘬𝘦𝘦𝘱 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘮𝘢𝘳𝘳𝘪𝘢𝘨𝘦 𝘣𝘳𝘪𝘮𝘮𝘪𝘯𝘨, 𝘸𝘪𝘵𝘩 𝘭𝘰𝘷𝘦 𝘪𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘭𝘰𝘷𝘪𝘯𝘨 𝘤𝘶𝘱, 𝘸𝘩𝘦𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘺𝘰𝘶’𝘳𝘦 𝘸𝘳𝘰𝘯𝘨, 𝘢𝘥𝘮𝘪𝘵 𝘪𝘵; 𝘸𝘩𝘦𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘺𝘰𝘶’𝘳𝘦 𝘳𝘪𝘨𝘩𝘵, 𝘴𝘩𝘶𝘵 𝘶𝘱.” — 𝘖𝘨𝘥𝘦𝘯 𝘕𝘢𝘴𝘩

*.*.*.

Sepanjang jalan aku terus berdoa agar Keenan belum sampai di rumah. Masih kuingat wajah Kak Aryes yang lempeng-lempeng saja saat berkata tidak sengaja. Dia bahkan mengataiku sombong karena sekarang berada di atas. Padahal aku hanya memintanya untuk minta maaf langsung kepada Keenan. Meskipun aku istrinya Keenan, bukan berarti aku bisa seenaknya dengan barang-barangnya.

Aku berdiri lama di depan pagar sebelum menekan bel. Saat pagar itu terbuka, jantungku makin bertalu-talu. Mobil ini aku lakukan sangat pelan, lalu mengerem dadakan setelah melihat mobil Keenan terparkir.

Matilah aku. Keenan pasti marah.

Sambil menggigit kuku aku masuk ke rumah. Keenan sudah duduk di sofa membaca buku. Dia mungkin belum menyadari kedatanganku karena terlalu larut dalam bacaannya. Namun, tidak biasanya dia membaca di ruang tamu. Seringnya di perpustakaan pribadinya atau di ranjang sebelum tidur. Itu berarti dia sedang menungguku pulang. Kalau dipikir romantis, tetapi sebenarnya cukup menakutkan.

Aku berjalan sangat pelan, berharap langkahku seperti kucing yang tak terdengar. Sambil mengatur napas, aku berdiri tepat di samping sofa panjang tempat Keenan duduk. Cukup lama aku terdiam di sana sampai aku mendengar suara Keenan.

Keenan mendongak menatapku sejenak. "Kamu sudah pulang?" tanyanya, beralih lagi kepada bukunya.

"Aku tadi ke rumah Mama," kataku, melawan rasa takut.

Keenan mendongak lagi, mengulas senyum. "Ya."

Setelah mengatakan satu kata pendek itu, Keenan kembali membaca. Aku terus menatapnya, tidak mengerti dia marah atau memang benar-benar tidak apa-apa.

"Sudah makan?" Aku bertanya sambil mengamati wajah serius itu.

Tanpa menatapku lagi dia menjawab, "Tentu, jadwal makan malamku sudah lewat dari tadi."

Segala sesuatu dalam hidup Keenan memang benar-benar terjadwal. Suamiku itu pasti tidak pernah merasakan dihukum pungut sampah karena terlambat saat sekolah. Tidak heran kalau dia bisa berhasil di usianya yang masih muda. Ada baiknya aku jadi perempuan, tinggal di rumah dan menikmati hasil keringat suami.

Aku memberanikan diri duduk di samping Keenan, bersandar di bahunya. Saat sedekat ini pun, seolah-olah ada sekat yang memisahkan kami. Aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya.

Keenan tidak protes saat aku menaruh satu tangan di pinggangnya. Dia tetap terfokus pada kata-kata yang teruntai di setiap lembaran buku berbahasa Inggris itu. Buku itu berwarna putih, berjudul Sapiens. Entah membahas tentang apa.

"Kamu nggak mandi?" tanya Keenan, meletakkan bukunya di meja.

Aku menjauhkan diri dari Keenan, mengendus aroma tubuhku. "Apa aku bau?"

"Mandi bukan karena bau, Sayang. Tapi, hygiene."

"Aku akan mandi sebelum tidur," balasku, lalu tersenyum.

Setelah usai membaca buku, Keenan meminta Mbak Suri menyimpan bukunya.

"Biar aku saja yang simpan." Aku langsung meraih buku yang ada di meja.

Mencari asisten rumah tangga yang telaten dan supel seperti Mbak Suri sangat susah. Kalau sampai dia salah meletakkan buku, pasti dipecat lagi. Dan aku harus merelakan satu atau dua hari untuk menggosok seluruh perabot.

"Aku ke kamar dulu kalau begitu." Sebelum melangkah terlebih dahulu, Keenan mengelus pipiku.

Warna putih dipisah. Warna putih dipisah. Aku terus mengulang kalimat itu dalam hati.

Ruangan kerja sekaligus perpustakaan pribadi Keenan itu adalah ruangan yang sangat jarang aku injak. Sejak berada di rumah ini, hanya hitungan jari aku masuk di sini.

Interiornya didominasi putih dan perak. Plafonnya seolah-olah meliuk membentuk huruf S berwarna krem dan cokelat tua. Ada meja yang di atasnya terdapat laptop. Ada dua rak buku besar dan tinggi yang dipenuhi buku. Pada salah satu rak di bagian paling bawah, semua bukunya berwarna putih. Aku mencari celah yang bisa dimasuki buku yang kupegang.

Sebelum memasukkan buku itu, aku mencari nama pengarang yang mungkin saja sama. Benar saja, penulis itu memiliki tulisan lain dengan warna yang sama, judulnya 21 Lessons.

Keenan itu sangat unik. Dalam meletakkan segala sesuatu pun, dia memiliki aturan tersendiri. Misal dua buku memiliki warna yang sama dan penulis yang sama, maka harus saling berdempetan. Jika tidak ada penulis yang sama, maka aturannya mengikuti asal negara penulisnya. Negara yang sama atau berdekatan harus berdempetan. Padahal apa bedanya kalau diatur rapi saja tanpa embel-embel negara atau yang lainnya.

Aku kembali ke kamar setelah menyelesaikan masalah dengan buku. Kalau aku yang salah meletakkan, tidak mungkin Keenan akan menceraikanku, kan?

Ngomong-ngomong masalah cerai, aku jadi mengingat bumper mobil Keenan yang penyok karena Kak Aryes.

"Mau mandi, Sayang?"

"Ehm, cuma bersih-bersih kayaknya. Sudah malam dan katanya tidak boleh mandi malam-malam, nanti rematik."

Kening Keenan mengerut. "Kamu ini masih saja percaya sama mitos. Mandi malam justru bagus untuk tubuh, Sayang."

Setelah mandi sesuai keinginan Keenan, aku masuk ke dalam selimut. Keenan sedang memainkan ponselnya. Dari yang sempat aku lihat, dia sedang membaca email.

"Sa--Sayang," panggilku.

Keenan menoleh kepadaku.

Aku menelan ludah untuk membasahi kerongkonganku yang mendadak kering. "Tadi ...," aku berhenti sejenak, "mobilnya dipakai sama Kak Aryes dan dia nabrak tiang."

Ya Tuhan, aku sekarang memasrahkan segalanya. Kalau Keenan memang marah, aku terima. Seharusnya dari awal aku memang tidak sembarang meminjamkan mobil itu.

*.*.*.

Awalnya aku mengira Keenan akan marah karena mobil itu. Dia hanya bilang kalau kain kali harus hati-hati. Tidak boleh asal meminjamkan, apalagi kalau yang meminjam tidak bertanggungjawab. Kasarnya, jangan meminjamkan mobil lagi kepada Kak Aryes, begitu maksudnya.

Pagi itu, aku baru saja keluar dari kamar. Bukannya maksudku bangun telat. Memang dua hari, aku selalu merasa lemas dan pusing di pagi hari. Keenan sudah memanggil dokter, katanya siang ini akan datang.

"Sayang, ayo sini," panggil Keenan, tangannya bergoyang-goyang di udara memberi tanda agar aku segera menghampirinya.

Aku mempercepat langkah, meski rasanya kepalaku mau pecah.

"Mobilnya sudah datang," kata Keenan saat aku sudah ada di dekatnya.

Kemarin Keenan mengunjungi dealer mobil dan membeli mobil baru untukku. Dia tidak bilang merek dan modelnya. Namun, saat aku keluar, mobil yang terparkir di depan rumah adalah Mini Cooper hitam. Salah satu mobil impianku.

"Kenapa? Kamu tidak suka?" Keenan bertanya, mungkin karena aku tidak terlihat antusias.

"Aku suka," jawabku lemah.

Bukannya tidak senang. Aku saat itu merasa kepalaku akan pecah. Dunia seperti berputar cepat. Aku mendadak limbung. Untungnya, Keenan sigap menahanku sehingga tidak terjatuh. Bisa aku dengar dia menanyakan kabarku, tetapi aku tidak bisa merespons lagi. Rasanya sangat lemas.

Tubuhku terangkat dan sontak menyandarkan kepala ke dada Keenan. Terdengar dia berteriak kepada Mbak Suri untuk meminta kunci mobil. Setelah Mbak Suri datang, aku dibopong dan diletakkan ke dalam mobil.

"Sabar, ya. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit." Begitu kata Keenan usai memasang sabuk pengaman untukku.

Aku hanya merespons dengan anggukan pelan. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak demam sama sekali, tetapi entah Kenapa aku terus-terusan pusing.

"Apa mungkin Bu Nindi hamil, Pak?" Mbak Suri turut dalam perjalanan kami berpendapat.

*.*.*.

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang