“𝓘𝓽 𝓭𝓲𝓭𝓷’𝓽 𝓶𝓪𝓽𝓽𝓮𝓻 𝓱𝓸𝔀 𝓫𝓲𝓰 𝓸𝓾𝓻 𝓱𝓸𝓾𝓼𝓮 𝔀𝓪𝓼; 𝓲𝓽 𝓶𝓪𝓽𝓽𝓮𝓻𝓮𝓭 𝓽𝓱𝓪𝓽 𝓽𝓱𝓮𝓻𝓮 𝔀𝓪𝓼 𝓵𝓸𝓿𝓮 𝓲𝓷 𝓲𝓽.” — 𝓟𝓮𝓽𝓮𝓻 𝓑𝓾𝓯𝓯𝓮𝓽𝓽
*.*.*.
"Mbak, aku keluar dulu, ya. Mau ke rumah Mama." Aku berpamitan kepada Suri, asisten rumah tangga yang sudah bekerja dua Minggu di rumah ini. Satu-satunya yang bertahan lebih dari seminggu.
Setelah Indah, ada empat asisten rumah tangga lain yang bekerja denganku. Dan kesemuanya dipecat oleh Keenan karena dianggap tidak becus. Ada yang karena sofa yang miring. Ada juga karena dianggap tidak bersih. Di antara semuanya, orang terakhir sebelum Suri yang dianggap Keenan paling parah, meletakkan buku bisnis di rak buku filsafatnya.
Suri yang sedang membersihkan sofa menghentikan kegiatannya dan menjawab, "Iya, Bu."
Panggilan 'Bu' rasanya sangat ketuaan untukku yang masih imut-imut. Apalagi, usiaku dan suri hampir beda dua kali lipat. Aku delapan belas dan Suri sudah tiga puluh lima tahun. Awalnya, aku minta dipanggil nama saja. Namun, Keenan tidak setuju.
Sebulan belajar, aku telah mahir mengemudikan mobil. Kata Keenan, dia akan membelikanku mobil baru. Untuk saat ini, aku memakai salah satu mobilnya. Jenis SUV kelas tinggi keluaran Jepang.
Jalan yang ramai membuatku melajukan mobil dengan pelan. Sering kali, aku kesal karena klakson dari mobil di belakangku. Kalau tidak mau macet, naik jet atau helikopter.
Aku membuka kaca mobil karena tidak sabar oleh klakson panjang. Kepalaku keluar sedikit untuk melihat bapak-bapak yang juga menjulurkan kepala keluar.
"Maju tolol!" Begitu teriaknya.
Daripada makin kesal, aku kembali fokus ke jalan dan menutup kaca mobil. Enak saja dia mengumpatiku. Lagipula, bumper mobilku hanya satu meter dari pantat mobil di depanku. Mau maju bagaimana lagi? Aku tidak cukup berani seperti pengemudi lain yang seolah-olah ingin mencium mobil di depannya.
Setelah perjalanan empat puluh lima menit yang beberapa menitnya sangat menyebalkan, aku sampai di rumah Mama. Ini kali pertamaku naik mobil sendiri ke sana. Biasanya diantar Keenan atau naik taksi online.
Kak Aryes yang duduk di teras hanya mengenakan boxer dan handuk yang tersampir di pundak menghampiriku yang baru saja turun dari mobil. "Wihh, keren banget. Bolehlah aku pinjam ke kampus sebentar."
"Ogah, ini mobil suamiku."
"Jangan pelit-pelit gitu, dong, Nin. Lupa kamu, waktu sekolah suka nebeng sama aku."
Aku memutar bola mata, lantas berlalu dari hadapan Kak Aryes. Biasanya dia yang pamer di depanku saat dibelikan barang sama Mama. Roda itu berputar. Kali ini, aku bisa pamer lebih banyak sama Kak Aryes.
Mama sedang duduk di sofa dengan Kinara yang berbaring di sampingnya sambil menikmati sebotol susu yang tersisa setengahnya. Aku langsung berlari kecil menghampiri keponakan kecilku.
"Ahh, Kiky, sayang-sayangnya Onty." Aku menowel-nowel pipi tembam Kinara.
Bayi itu melepas dotnya. Dia tertawa memunculkan giginya yang hanya beberapa.
"Gimana ramuan yang Mama buatkan? Kamu rajin minumnya, kan?"
Aku mengangguk, mengangkat Kinara ke gendonganku.
"Kalau rajin minum, nanti kami bisa cepat gendong bayimu sendiri."
Aku hanya tersenyum kecil. Sebelumnya Mama juga meresepkan ramuan yang sama untuk Kak Nadia. Tidak begitu berhasil. Untuk mendapatkan Kinara, Kak Nadia harus keluar masuk rumah sakit untuk menjalani prosedur fertilisasi. Namanya anak itu rezeki, cepat atau lambat asalkan sudah berusaha. Selebihnya diserahkan kepada Tuhan.
"Kamu pulang sore, kan?" Kak Aryes yang dandanannya sudah siap ke kampus bertanya. Aku hanya menjawab anggukan. "Ya udah, pinjam sebentar mobilnya. Aku nggak lama, kok, cuma satu kelas doang."
"Aku bilang nggak, ya, nggak, Kak. Itu bukan mobilku." Aku menekankan.
"Ma, Nindy pelit sekarang. Mentang-mentang nikah sama orang kaya, sama kakak sendiri lupa."
"Nindy, jadi orang itu nggak boleh pelit. Pinjami sebentar, kan, nggak apa-apa. Bensin juga nggak habis seliter."
Kalau Mama sudah angkat bicara, aku bisa apa. Padahal selama ini Kak Aryes juga pelit kepadaku dan Mama tidak pernah membelaku.
Aku melempar kunci mobil kepada Kak Aryes dan ditangkapnya girang. Dia melangkah mendekatiku, lalu mencium pipiku gemas.
"Terima kasih, adikku yang cantik," ucapnya, mencubit pipiku yang tidak di ciumnya tadi.
Kalau ada maunya saja memujiku cantik. Biasanya juga menyebutku jelek atau anak pungut.
*.*.*.
Aku mondar-mandir di teras Mama. Kinara sudah dijemput Kak Nadia dari tadi. Kak Naura pun sudah pulang dari toko. Dan Kak Aryes belum juga pulang sampai sekarang.
"Masuk dulu, Nin. Aryes nggak bakal cepat sampai meksipun kamu mondar-mandir di luar," pinta Kak Naura, mungkin tidak sabar melihatku.
Aku menurut dan memilih duduk di dekat Kak Naura. Namun, karena rasa khawatir yang bersarang di hatiku membuatku terus menggoyangkan kaki. Bukannya khawatir kepada Aryes, justru kepada Keenan yang mungkin sudah di jalan pulang dari kantor.
Keenan ingin aku selalu di rumah menyambutnya saat pulang kerja. Kalau tahu aku tidak pulang ke rumah dengan alasan meminjamkan mobil kepada Kaka Aryes, aku takut dia akan marah.
"Mama, sih, aku tadi nggak mau minjamin Kak Aryes karena tahu kalau dia itu lelet," aduku, lalu menggigit-gigit kuku. Kebiasaan lama saat gugup yang sangat susah kuhilangkan.
"Siapa tahu aja mobilnya mogok, Nin," sahut Mama, sepertinya mendengar aduanku kepada Kak Naura.
"Mobil semahal itu masa mogok, Ma?" timpal Kak Naura. "Si Aryes aja yang lelet. Paling lagi jalan sama pacarnya. Sok bergaya, tapi milik orang."
Aku bersungut-sungut mendukung ucapan Kak Naura. Pada dasarnya memang Kak Aryes yang tukang bohong. Katanya cuma ke kampus, ternyata pergi jalan.
"Eh, Aryes itu masih kuliah. Wajar kalau belum punya apa-apa. Kalau Nindy yang gak bisa apa-apa bisa hidup enak, apalagi Aryes nanti."
Mama memang selalu membela anak lelakinya. Aryes selalu ditinggikan dan dalam prosesnya, aku yang direndahkan. Entah apa yang membedakan kami. Kalau alasan Mama tidak terima dengan perbuatan Papa, aku dan saudarku yang lain punya ayah yang sama, maka Mama harusnya membenci kami sama besarnya.
Tidak lama, suara mobil berhenti di depan rumah. Aku langsung berlari.
"Cepat turun!" pekikku, tidak mampu menahan amarah. "Katanya cuma sebentar. Katanya cuma satu kelas. Kenapa baru pulang sekarang?!"
"Maaf, Dek. Aku tadi main game sama teman."
"Bodoh amat!" umpatku, mendorong Kaka Aryes dari samping pintu mobil.
Aku hanya berteriak untuk pamit kepada Mama dan Kak Naura yang sudah keluar di teras.
"Dek, tunggu," ucap Kak Aryes lembut, sebelum aku menutup pintu mobil.
Aneh, tidak biasanya dia memasang wajah bersalah seperti itu. Apalagi untuk hal yang aku yakin dia anggap sepele.
"Bumpernya lecet, aku nggak sengaja menabrak tiang," aku Kak Aryes, membuat jantungku serasa berhenti berdetak.
Aku melompat turun dari mobil. Kak Aryes menunjukkan bagian kiri bumper mobil yang penyok parah. Ya Tuhan, apa yang harus aku katakan kepada Keenan. Sudah telat pulang, mobilnya pun penyok seperti ini.
"Kak Aryes apa-apaan, sih?! Aku sudah bilang ini mobil Kak Keenan."
"Ya, maaf, Nin. Aku nggak sengaja."
"Sudah jelas nggak sengaja, Kak. Gila namanya kalau sengaja."
"Ya elah, Nin. Cuma penyok dikit. Tinggal dibawa ke bengkel. Kamu tuh harusnya lebih khawatir sama aku. Tanya kek keadaan aku."
*.*.*.
Tell me if you like it in the comment section. Thank you ❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Sempurna
RomanceNindy, seorang remaja yang jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Keenan, kakak sahabatnya. Saat tiba-tiba dilamar oleh cinta pertamanya, dia langsung menerima. Menganggap dirinya adalah Cinderella yang beruntung menikahi pangeran berkuda putih. ...