Pengalaman Pertama

1.2K 98 11
                                    

“𝓐 𝓱𝓪𝓹𝓹𝔂 𝓶𝓪𝓻𝓻𝓲𝓪𝓰𝓮 𝓭𝓸𝓮𝓼𝓷’𝓽 𝓶𝓮𝓪𝓷 𝔂𝓸𝓾 𝓱𝓪𝓿𝓮 𝓪 𝓹𝓮𝓻𝓯𝓮𝓬𝓽 𝓼𝓹𝓸𝓾𝓼𝓮 𝓸𝓻 𝓪 𝓹𝓮𝓻𝓯𝓮𝓬𝓽 𝓶𝓪𝓻𝓻𝓲𝓪𝓰𝓮. 𝓘𝓽 𝓼𝓲𝓶𝓹𝓵𝔂 𝓶𝓮𝓪𝓷𝓼 𝔂𝓸𝓾’𝓿𝓮 𝓬𝓱𝓸𝓼𝓮𝓷 𝓽𝓸 𝓵𝓸𝓸𝓴 𝓫𝓮𝔂𝓸𝓷𝓭 𝓽𝓱𝓮 𝓲𝓶𝓹𝓮𝓻𝓯𝓮𝓬𝓽𝓲𝓸𝓷𝓼 𝓲𝓷 𝓫𝓸𝓽𝓱.” — 𝓕𝓪𝔀𝓷 𝓦𝓮𝓪𝓿𝓮𝓻

*.*.*.

Tiga bulan pertama kehamilan adalah saat-saat yang sangat menyiksa. Selain mual dan muntah setiap pagi, penciuman pun lebih sensitif. Banyak makanan yang tidak bisa aku makan karena aromanya sangat menyengat. Satu-satunya aroma yang bisa aku cium adalah minyak angin. Aku sudah mirip nenek-nenek saja. Sabun saja aku ganti menjadi sabun yang baunya mengingatkanku kepada rumah sakit.

Keenan yang tidak bisa tanpa pengharum ruangan di mana pun membutaku makin tersiksa. Dia bukan orang yag ingin mengubah kebiasaan apa pun yang terjadi. Saat jadwalnya lembur di kantor, maka dia tidak akan pulang sebelum kerjaannya beres. Jika Sabtu atau Minggu dan ada urusan kerja yang harus diselesaikan, dia akan berada di kantor seharian. Dedikasinya terhadap pekerjaan sangat tinggi. Belum lagi kebiasaan olahraga dan membacanya yang tidak boleh diganggu gugat. Alasan itulah yang membutaku memilih lebih memilih ke rumah Mama selama trisemester awal kehamilanku.

"Ranjangnya empuk, ya. Tidur pasti nyenyak," kata Mama, duduk sambil menepuk-nepuk ranjangku. Sejak ranjang baru itu datang sebulan yang lalu, Mama sudah sering mengatakan hal yang sama.

Keenan tidak merasa nyaman dengan ranjangku sebelumnya di kamar ini. Itu sebabnya dia membeli yang baru. Alasannya kepada Mama, aku sedang hamil dan harus mendapatkan kenyamanan ekstra. Ya, dia bahkan menyewa jasa pembersih untuk melakukan general cleaning di rumah Mama. Hal itu rutin dilakukan dua kali seminggu. Mama tentu saja senang dan menerima dengan baik. Kak Naura yang tidak suka. Katanya terlalu berlebihan.

"Lihat, kan, kalau kamu jadi anak berbakti pasti dibalas Tuhan. Buktinya kamu dapat suami yang sempurna. Sudah baik, ganteng, kaya, apa coba kurangnya," puji Mama, entah kepada Keenan atau dirnya sendiri.

Aku meletakkan BANTAL yang kupeluk. "Iya, Ma. Terima kasih."

Mungkin Mama lupa kalau di sempat tidak mau aku menikah dengan Keenan, justru menyodorkan Kak Naura layaknya barang.

Mama lanjut memberi wejangan agar aku terus berbakti sehingga saat melahirkan nanti lebih mudah. Ada beberapa hal yang mungkin bisa aku contoh dari Mama dalam hal membesarkan anak. Dia pekerja keras dan tidak menyerah membesarkan empat anak seorang diri, melawan luka demi anak-anaknya. Namun, aku tidak akan menjadi ibu yang membeda-bedakankan. Aku akan mencintai anak-anakku sama besarnya.

Tangisan Kinara menyelamatkanku dari kecerewetan Mama yang lanjut mengatakan banyak hal yang tidak boleh aku lakukan selama kehamilan. Misalnya tidak boleh duduk di tengah pintu, takut susah saat proses kelahiran. Katanya juga aku harus mengingatkan Keenan agar tidak membunuh binatang, nanti aku bisa keguguran. Ada juga Keenan tidak boleh memancing atau mencangkul tanah. Kalau sampai aku menyampaikan hal itu kepada Keenan, dia pasti akan berkata kalau aku seharusnya tidak percaya kepada mitos.

"Oh, Kiky Sayang, lapar, ya?" Aku mengambil Kinara dan memangkunya.

Mama mengambil botol susu yang sudah aku siapkan di nakas. Dia menyodorkan botol itu kepadaku dan langsung aku beri kepada keponakanku yang lucu. Saat lahir nanti, mungkin anakku juga akan selucu Kinara. Melihat Kinara saja aku bahagia sekali, bagaiman dengan anakku sendiri?

Mama mengambil Kinara dari pangkuanku. "Biar Mama yang pangku. Kamu itu harus istirahat kata dokter."

Sejak menikah, Mama lebih perhatian, apalagi saat tahu aku hamil. Setidaknya tidak ada lagi yang menyuruh-nyuruh meski aku tinggal di rumah ini. Saat aku asyik mendengar Mama menyinden untuk Kinara, pintu kamarku terbuka. Keenan berdiri di sana, masih rapi mirip baru saja ingin berangkat kerja.

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang