Dualisme Keenan

1.3K 102 17
                                    


“𝘚𝘰𝘮𝘦 𝘸𝘰𝘶𝘯𝘥𝘴 𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘴𝘩𝘰𝘸 𝘰𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘣𝘰𝘥𝘺; 𝘵𝘩𝘦𝘺 𝘢𝘳𝘦 𝘥𝘦𝘦𝘱𝘦𝘳 𝘢𝘯𝘥 𝘮𝘰𝘳𝘦 𝘩𝘶𝘳𝘵𝘧𝘶𝘭 𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘺𝘵𝘩𝘪𝘯𝘨 𝘵𝘩𝘢𝘵 𝘣𝘭𝘦𝘦𝘥𝘴.” – 𝘓𝘢𝘶𝘳𝘦𝘭𝘭 𝘒. 𝘏𝘢𝘮𝘪𝘭𝘵𝘰𝘯

*.*.*.

Aku sedang berdiri di depan cermin, baru selesai dengan rangkaian krim dan serum di wajah. Tidak lupa semprotan parfum yang wajib sebelum tidur. Keenan berdiri di belakangku. Dari pantulannya di cermin, aku melihat alisnya terangkat sambil menatapku.

"Bukannya berkurang, berat badanmu sepertinya bertambah, Sayang? Kamu gendutan," ucapnya.

Setelah melepas bandana di rambut, aku berbalik. Aku menunduk menatap tubuhku dari perut ke kaki.

"Masa, sih?" Aku mengerutkan dahi.

Keenan mendekat, makin memperhatikanku. "Waktu habis melahirkan Sofia, nggak sampai dua bulan tubuhmu udah balik lagi."

Saat mengandung Sofia, berat badanku memang tidak bertambah banyak. Setelah melahirkan pun, makananku masih mengikuti Keenan. Setiap tiga kali seminggu, aku rutin yoga bersama pelatih yang disewa Keenan.

"Padahal kamu sudah defisit kalori dan rutin kardio," lanjut Keenan. "Atau jangan-jangan kamu bohong lagi sama aku, Sayang?"

Aku langsung menggeleng. "Nggak, mana mungkin aku bohong."

Aku mendongak begitu Keenan berdiri sangat dekat denganku. Dia menempelkan kedua tangannya di pipiku.

"Kamu tahu kalau aku percaya dengan apa yang terlihat daripada ucapan?" Dia menatap mataku, lalu mengulas senyum. "Apa yang aku lihat adalah kamu nggak mengikuti jadwal yang udah aku buat."

Sudah lama aku tidak mengikuti jadwal dari Keenan. Aku tidak suka kehidupan monoton yang dia terapkan. Aku lebih tidak suka makanan yang dia sarankan. Lidahku suka yang bersantan dan gurih, bukan makanan hambar yang nasinya secuil. Aku teringat lagi janjiku untuk tetap olahraga meski tanpa pelatih. Awalnya, aku rajin, tetapi makin hari aku makin malas. Dan akhirnya, berhenti. Kerjaanku hanya mengurus Louis dan mengantar-jemput Sofia. Sejak ada sopir dan pengasuh, aku berteman dengan media sosial.

Keenan menurunkan jemarinya dari pipiku. "Mulai besok, ikut aku jogging. Aku akan minta Shandy untuk jadi instruktur yoga-mu lagi."

"Tapi, aku ...," ucapku ingin membela diri, tetapi dipotong oleh Keenan, "Kamu nggak bosan cuma tinggal di rumah? Kamu butuh kegiatan. Nanti aku cari les parenting atau kecantikan untuk kamu ikuti."

Memangnya siapa yang mengurungku di rumah ini? Itu dia sendiri.

Tidak ada kesempatan untukku menolak kerena Keenan sudah membalikkan badan. Dia melangkah pelan, lantas membaringkan diri di ranjang. Perkataan yang terakhir aku dengar darinya malam itu adalah perintah untuk mematikan lampu. Sebelum menuruti perintahnya, aku sempat berdiri menatap pantulanku di cermin. Badanku hanya naik beberapa kilo. Apa aku benar-benar gendut?

Pagi sekali, aku sudah siap dengan pakaian olahraga untuk ikut bersama Keenan. Sebelum pergi, aku menyiapkan dua gelas air hangat yang ditambahkan perasan lemon. Riri sedang beberes di ruang tamu, menggeser sofa dan meja.

"Ri, jangan lama-lama digeser begitu. Mengganggu penglihatan saja," protes Keenan.

"Titip sama Bunga, nanti Sofia dibantu mandi dan pakai seragam," pesanku kepada Riri.

Langit masih mendung karena hujan Subuh tadi. Jingga bahkan belum tampak di ujung cakrawala di mula hari. Keenan meregangkan badan sebelum mulai berlari setelah kami berada di depan pagar. Pagi lengang dan dingin sepertinya membuai orang-orang untuk tetap berada di alam mimpi. Pada jalan di perumahan ini, aku hanya menemui seorang kekek yang rambutnya nyaris memutih seluruhnya yang sedang berlari.

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang