Hidup Bersama

1.1K 77 4
                                    

“𝙼𝚊𝚛𝚛𝚒𝚊𝚐𝚎 𝚒𝚜 𝚗𝚘𝚝 𝚊𝚋𝚘𝚞𝚝 𝚊𝚐𝚎; 𝚒𝚝’𝚜 𝚊𝚋𝚘𝚞𝚝 𝚏𝚒𝚗𝚍𝚒𝚗𝚐 𝚝𝚑𝚎 𝚛𝚒𝚐𝚑𝚝 𝚙𝚎𝚛𝚜𝚘𝚗.” — 𝚂𝚘𝚙𝚑𝚒𝚊 𝙱𝚞𝚜𝚑

*.*.*.

"Sayang, cepat bangun!"

Aku merasakan belaian di wajahku disertai suara Keenan yang meminta agar aku segera bangun. Perlahan mataku membuka, lalu tertutup lagi karena tidak terbiasa dengan cahaya lampu yang terang.

"Ayo, Sayang!"

Desakan Keenan membuatku membuka mata lagi. Aku melenguh pelan, ingin protes karena dibangunkan. Bersama kantuk yang masih memenuhi, aku beringsut turun dari ranjang. Satu kecupan di pipi membuatku tersenyum lebar. Rasa hangat menjalari pipiku, apalagi setelah menatap wajah Keenan yang makin hari makin memesona.

Mungkin di kehidupan sebelumnya aku adalah seorang pahlawan, jadi aku sekarang menikmati hasilnya. Aishh, kebetulan aku tidak meyakini reinkarnasi. Jadi, bisa saja inilah saatnya aku bahagia setelah sejak lahir selalu disalahkan atas apa yang tidak aku ketahui sama sekali.

"Sayang, lain kali kamu harus bangun lebih awal, ya." Keenan mengusap puncak kepalaku.

"Iya, maaf. Kebiasaan sejak lulus sekolah." Aku cengengesan.

"Nggak apa-apa, kalau sering pasti terbiasa."

Aku masuk ke kamar mandi untuk segera membersihkan diri. Aku menggosok seluruh tubuh dengan sabun dan tidak lupa keramas. Ritual pagi sejak menikah adalah mandi pagi dan keramas. Bukan karena apa, Keenan ingin aku selalu segar dan harum di pagi hari.

Saat Keenan masuk, aku baru saja selesai memulas lip cream nude di bibirku. Dia tersenyum, memuji bahwa aku sangat cantik. Dan yang paling disukainya adalah tubuhku yang sekarang ditutupi gaun floral tanpa lengan.

"Oh iya, pembantu baru datangnya besok. Hari ini kamu yang beres-beres dulu, boleh?"

Aku mengangguk. Kemarin kami masih memiliki asisten rumah tangga yang bertugas untuk membersihkan seluruh sudut rumah. Namun, baru seminggu bekerja, Keenan memecatnya.

"Dia nggak tahu membersihkan. Beri dia gaji, lalu bilang kalau kita  nggak butuh dia lagi." Begitu kata Keenan kepadaku saat memintaku untuk memecat Indah.

Pemecatan itu sebenarnya terjadi karena hal sepele. Indah salah meletakkan warna sepatu. Dan hal itu ditemui Keenan dua hari berturut-turut. Salah Indah juga, aku sudah mengingatkan kalau segala sesuatu harus diatur sesuai keinginan Keenan, berdasarkan warna tergelap sampai tercerah.

"Kamu udah hubungi Tante Sri, kan?" Keenan yang baru selesai berganti pakaian kerja bertanya.

"Belum,"jawabku, menepuk-nepuk bantal yang baru saja aku ganti sarungnya.

Tante Sri adalah kenalan Mama Dewi, seorang koki andal yang sedang membuka kelas masak. Keenan mau aku belajar memasak karena katanya istri yang baik itu yang enak masakannya.

"Loh, cepat dihubungi, Sayang. Kelasnya itu jarang dan selalu full, nanti kamu nggak kebagian seat."

"Iya, nanti siang aku hubungi."

"Kalau memang kelasnya full, bilang saja kamu istriku."

*.*.*.

Setelah Keenan berangkat bekerja, aku disibukkan dengan pekerjaan rumah. Sambil bersenandung, aku menyemprotkan cairan pembersih di kaca jendela. Menggosok dengan kanebo, lalu menariknya turun dengan alat.

Sebelumnya aku sudah membersihkan seluruh sudut rumah. Mulai dari perabot, pajangan, bahkan tembok, aku lap semua. Pekerjaanku sangat banyak, tetapi aku mengerjakan segalanya dengan bahagia. Tidak ada yang menyuruh ini dan itu. Tidak ada yang membandingkan diriku dengan saudaraku yang lain.

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang