Seorang Ibu

847 79 4
                                    

"𝘞𝘦 𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘬𝘯𝘰𝘸 𝘵𝘩𝘦 𝘭𝘰𝘷𝘦 𝘰𝘧 𝘢 𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘵 𝘵𝘪𝘭𝘭 𝘸𝘦 𝘣𝘦𝘤𝘰𝘮𝘦 𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘵𝘴 𝘰𝘶𝘳𝘴𝘦𝘭𝘷𝘦𝘴."--𝘏𝘦𝘯𝘳𝘺 𝘞𝘢𝘳𝘥 𝘉𝘦𝘦𝘤𝘩𝘦𝘳

*.*.*.

Selama menjadi ibu tiga bulan terakhir ini, aku tidak mengambil les apa pun. Tidak latihan yoga juga dengan alasan ingin fokus kepada bayiku. Untungnya, Keenan mengerti, hanya saja aku harus tetap senam secara mandiri saat Sofia tidur. Tubuh ibu yang sehat akan berpengaruh kepada ASI yang dikonsumsi oleh bayi, begitu menurut Keenan.

Kehidupanku sangat berubah sejak menikah, dan makin berubah setelah memiliki sofia. Selain kegiatan yang makin terbatas, tidur pun tidak senyenyak dulu. Kamar Sofia berada di sebelah kamarku. Kamar khusus bayi yang dicat pink dan gambar karakter kartun di dindingnya. Saat aku meminta agar kota bayi Sofia diletakkan di kamar saja supaya lebih muda kalau dia menangis. Apalagi, kalau malam Sofia sering bangun untuk minum susu atau rewel saat popoknya penuh. Namun, Keenan ingin membiasakan Sofia mandiri sejak dini. Selain itu, tidurnya tidak boleh terganggu agar bangunnya juga sesuai jadwal.

Perkataan Keenan adalah mutlak. Akhirnya, kami konsultasi ke dokter, berdasarkan usia dan berat badan Sofia, kebutuhan ASI-nya adalah 2-4 jam sekali. Sehingga, setiap malam, aku memasang alarm setiap dua jam sekali untuk menyusui seklaisgus mengganti popok Sofia. Kata Keenan, meski popoknya kering, kalau sudah waktunya ganti saja. Untungnya, bayiku bukan bayi rewel yang kerap menangis yang entah sebabnya apa. Saat malam pun, dia bangun sesuai jadwal yang aku buat.

Meski terjadwal, bukan berarti aku tidak tersiksa. Mata orang dewasa berbeda dengan bayi. Saat Sofia tidur, aku tidak bisa tidur. Dipaksa pun, mataku akan tetap melek. Hasilnya, ketika jam pengingat berbunyi dan selang beberapa menit Sofia terbangun, kantuk mulai menyergapku. Hal itu sering terjadi. Pernah sekali, mataku seperti dikipas-kipasi dan sukar untuk melek. Sofia asyik di gendonganku sambil menendang-nendang dengan celotehan khas bayi tiga bulannya. Aku yang sedang duduk tiba-tiba hilang kesadaran dan entah bagaimana cara Sofia terjatuh. Namun, saat aku sadar karena tangisannya, dia sudah berada di bawah tengkurap.

Aku menggendong Sofia, memeriksa kepalanya dari depan ke belakang secara menyeluruh. Aku memeriksa kepala Sofia dari depan ke belakang secara menyeluruh. Untungnya, tidak ada benjolan ataupun memar. Mungkin karena dia terjatuh di atas karpet tebal yang empuk, sehingga tidak ada luka berarti. Bisa jadi dia menangis hanya karena kaget.

Kalau sampai berbekas, aku yakin Keenan akan mengatakan kalau aku ceroboh. Aku memang ceroboh, tetapi dia tidak tahu saja bagaimana susahnya mengurus bayi yang jam tidurnya tidak sama dengan kami.

Kesokannya, aku dan Sofia mengantar Keenan untuk bekerja sampai di depan pintu.

"Papa pergi dulu," kata Keenan kepada Sofia yang aku gendong. Dia mengecup  pipi Sofia bergantian dengan keningku. "Siang nanti Pandi akan jemput kamu dan Sofia untuk imunisasi."

"Suruh telepon dulu sebelum ke sini, biar aku dan Sofia bisa siap-siap. Dulu, dia datang tiba-tiba jadinya menunggu lama."

"Iya, Sayang. Tapi kamu harus siap-siap. Jangan cuma main sama Sofia terus."

Aku mengangguk, lalu meraih tangan kanan Keenan dan mengecup punggung tangannya. Setelah Keenan naik ke mobil yang kemudian membawanya keluar dari pekarangan rumah, aku membawa Sofia masuk. Kami bermain di ruang tengah.

Sofia aku tidurkan di atas karpet, beberapa mainan aku keluarkan untuknya. Dia mulai aktif, tangan dan kakinya seolah-olah tidak mau berhenti bergerak. Kami bermain lama sambil menunggu pesanan makanan online-ku tiba.

"Oh, ada apa, Sayang?" tanyaku kepada Sofia. "Mau ikut makan sama Mama? Iya, Nak?"

Sofia berceloteh, terus menendang-nendang sambil meremas boneka karet yang digenggamnya. Dia menatapku yang sedang menikmati seporsi nasi Padang dengan lauk lengkap. Aku butuh sekali makanan terenak di dunia ini. Sudah setahun, aku tidak mengecap kenikmatan dunia yang terlarang di rumah Keenan.

Aku memang salah karena tidak menurut. Namun, merawat bayi butuh tenaga. Menuruti menu dari Keenan memang mengenyangkan juga, tetapi ada rasa tidak puas yang berkepanjangan. Ide untuk memesan sembunyi-sembunyi berasal dari Riri.

"Pesan online saja. Bapak mana tahu Ibu makan nasi Padang." Begitu komentar Riri.

Akhirnya, tiga hari ini, aku rutin memesan makanan online.

Riri ikut senang dengan kebiasaan sembunyi-sembunyiku itu. "Asyik, aku jadi ikut kenyang."

*.*.*.

Sepulang dari imunisasi, Sofia sangat rewel. Tidak seperti biasanya. Dia selalu menolak minum susu. Popoknya pun baru diganti. Namun, tangisannya tidak mau berhenti. Aku sudah menggendongnya keliling sambil kutimang-timang.

"Ma, Sofia rewel terus," aduku kepada Mama melalui ponsel. "Sepulang imunisasi, jadi rewel begini."

"Anak habis imunisasi memang begitu. Bisa jadi mau demam. Nanti kami pakaikan baju tipis saja. Lihat juga bekas suntikannya, siapa tahu bengkak. Kalau bengkak kompres air dingin."

Usai bicara dengan Mama, barulah aku memeriksa paha bagian kanan Sofia yang tadi disuntik. Bagian bekas suntikan itu memang mengeras dan memerah. Pantas saja Sofia sangat rewel. Sesuai arahan Mama, aku mengompres bekas itu dengan air dingin.

"Bagaimana, Bu?" Riri menanyakan kabar Sofia.

"Barusan tidur. Ini, mangkuknya bawa masuk aja. Nanti kalau bangun, baru dikompres lagi."

Keenan pulang lebih malam saat itu. Aku sudah meneleponnya agar segera pulang karena suhu tubuh Sofia naik perlahan. Namun, dia tidak bisa pulang sebelum pekerjaannya selesai. Dia justru menghubungi Mama Dewi untuk menemaniku.

"Berapa suhu tubuhnya?" Mama Dewi bertanya, menyentuh pipi dan kening Sofia.

"Barusan aku cek, 37,8. Aku juga sudah ganti bajunya sama yang tipis, biar tidak makin panas."

"Bagus. Mama beli plester pereda demam, coba kita pasang dulu."

Aku tahu Sofia pasti menderita karena paha yang bengkak dan demam. Sepanjang hari, dia hanya mau digendong. Masalahnya, dia juga tidak mau pergi kepada orang lain selain aku. Tadi Riri sudah mencoba, tetapi tangisnya justru menjadi-jadi. Pun dengan Mama Dewi, Sofia tetap menolak.

Tidak tahu harus bagaimana, aku memilih duduk di sofa sambil terus menggendong Sofia. Air mataku menetes, kasihan kepada Sofia. Kalau saja bisa, aku ingin mengambil rasa sakitnya sehingga dia bisa ceria seperti tadi pagi.

"Sudah, kalau kamu sedih begitu, nanti Sofia malah makin sakit." Mama Dewi menenagkanku.

Keenan datang saat Mama Dewi bersiap-siap untuk pulang karena Sofia sudah terlelap. Sebelumnya, Mama Dewi meletakkan paha kanan Sofia di atas guling kecil. Katanya hal itu bisa membuat perihnya berkurang.

"Habis ini, kamu istirahat juga. Pasti kamu capek," kata Mama Dewi, memijat lenganku pelan.

Aku hanya mengangguk, lalu mengantar Mama Dewi sampai ke teras. Sementara Keenan sepertinya langsung ke kamar dan bersiap-siap untuk mandi.

Saat di dalam kamar, aku langsung berbaring di ranjang. Puas sekali bisa istirahat setelah hari yang melelahkan. Keenan keluar dari kamar mandi mengenakan handuk putih dengan rambut yang telah mengering berkat hair dryer.

"Sayang," sebutnya.

Aku mengangkat badan dan duduk di ranjang. Kemudian, aku beringsut turun dari ranjang. Sesak yang bersarang di dada, aku tumpahkan dengan isakan saat memeluk Keenan erat.

Keenan menyentuh kedua pipiku, mendorongnya pelan dan membuatku mendongak sehingga mata kami bertemu sejenak. Dia mengernyit.

"Kamu terlihat sangat berantakan Sayang. Mandi dulu sebelum istirahat."

*.*.*.

Suami Sempurna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang