"𝘞𝘰𝘶𝘯𝘥𝘦𝘥 𝘱𝘢𝘳𝘦𝘯𝘵𝘴 𝘰𝘧𝘵𝘦𝘯 𝘶𝘯𝘪𝘯𝘵𝘦𝘯𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭𝘭𝘺 𝘪𝘯𝘧𝘭𝘪𝘤𝘵 𝘱𝘢𝘪𝘯 𝘢𝘯𝘥 𝘴𝘶𝘧𝘧𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘰𝘯 𝘵𝘩𝘦𝘪𝘳 𝘤𝘩𝘪𝘭𝘥𝘳𝘦𝘯"
~𝘋𝘢𝘷𝘪𝘥 𝘞. 𝘌𝘢𝘳𝘭𝘦*.*.*.
Tidak ada yang berkata bahwa hidup akan mudah. Akan selalu ada kerikil yang membentang di depan. Aku tahu hal itu. Namun, hidupku tidak dipenuhi kerikil. Rasanya sekelilingku dipenuhi beling. Aku berdarah-darah melewati setiap jalan.
Pikiran untuk mengakhiri perjalanan akhir-akhir ini terus mengikuti langkahku. Aku membenci semua orang yang tidak mengerti keinginanku. Aku bahkan lebih membenci diriku sendiri yang tidak tahu berkata sejujurnya. Lagipula siapa yang akan mendemgarku?
Mama tidak akan peduli kepada perasaanku. Justru dia akan menganggap aku bodoh dan tidak tahu bersyukur. Kakakku? Mereka mungkin akan berkata kalau itu bukan urusan mereka kerena sudah mengingatkan agar aku memikirkan ulang untuk menikah. Ini pilihanku dan aku pula yang harus menanggungnya sendiri.
Sore itu aku dan Keenan pergi ke supermarket untuk belanja bulanan. Dia menggandeng Sofia, bertindak sebagai ayah yang baik seperti biasa. Beberapa kali, dia juga menggendong Sofia.
Riri dan Agus mendorong dua troli yang penuh barang. Mereka berada di mobil yang berbeda, sehingga Keenan meminta mereka untuk pulang terlebih dahulu dan mengatur belanjaan.
"Papa, aku mau beli boneka," rengek Sofia.
"Anak Papa yang pintar nggak boleh main boneka. Nanti kita ke toko buku, beli pewarna, ya?" bujuk Keenan.
"Temanku punya banyak boneka. Aku juga mau."
"Itu karena teman Sofia tidak pintar. Kerjanya cuma main. Kalau anak Papa, kan, pintar, rajin belajar."
Aku menunduk menatap wajah Sofia yang menekur menatap lantai. Kadang aku kasihan juga kepada anakku itu. Dia sedang berada di usia yang harusnya banyak bermain, tetapi Keenan menekannya untuk selalu menjadi yang terbaik. Terbukti dia sudah diikutkan berbagai les.
"Kemarin katanya mau lihat tas, kan?" Dia beralih kepadaku.
"Iya," jawabku ogah-ogahan. Aku memang mau beli tas, tetapi mau pergi sendiri.
Toko itu berada di lantai empat mal, merupakan rumah mode asal Italia. Ada banyak tas dan sepatu terpasang di etalase maupun rak toko. Seorang perempuan berseragam hitam menghampiriku dan Keenan yang baru masuk.
Aku menatap satu per satu tas yang ada di sana. Pilihanku terjatuh kepada shoulder bag hitam dengan embos merek. Cukup besar, jadi saat keluar aku bisa sekalian menaruh botol susu dan popok Louis.
"Aku suka yang ini," kataku kepada Keenan.
"Nggak bagus. Itu kelihatan ketuaan untuk kamu," ucapnya. "Yang itu bagus. Lebih mini dan elegan."
Aku menatap perempuan yang melayaniku, tersenyum kepadanya. "Kalau begitu yang itu saja."
Aku memegang tas sewarna mentega yang bisa dijadikan shoulder bag ataupun hand bag. Ada ornamen rantai emas di tengah-tengah yang juga menghubungkan dengan pengait pembukanya.
Pilihan Keenan memang selalu cantik dan lebih berkelas. Namun, aku melihat tas sesuai dengan tujuannya. Sebagai ibu dengan anak bayi yang kebutuhannya banyak, tas besar adalah pilihan terbaik.
Setelah selesai membeli tas untukku, kami menuju salah satu toko buku. Selain buku, di sana juga terdapat banyak mainan.
"Mama, aku mau itu." Sofia menunjuk alat pancingan mainan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Sempurna
RomanceNindy, seorang remaja yang jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Keenan, kakak sahabatnya. Saat tiba-tiba dilamar oleh cinta pertamanya, dia langsung menerima. Menganggap dirinya adalah Cinderella yang beruntung menikahi pangeran berkuda putih. ...